SIGMA FISIKA

SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI TEMPAT BELAJAR DAN BERBAGI ILMU PENGETAHUAN

Friday, October 13, 2017

REMEDIAL DAN PENGAYAAN




REMEDIAL DAN PENGAYAAN

       I.            Program Remedial
Istilah remedial berasal dari kata remedy, remedial, remedies (bahasa Inggris) yang berarti obat, memperbaiki, atau menolong (Echols, 2007). Karena itu, remedial berarti hal-hal yang berhubungan dengan perbaikan. Program remedial merupakan implikasi dari teori belajar tuntas yang memerlukan upaya tambahan untuk mengatasi dan membantu siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Salah satunya adalah dengan mengadakan program remedial untuk membantu siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Sedangkan menurut Prayitno (2008), remedial merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok siswa yang menghadapi masalah belajar dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam proses dan hasil belajar mereka. Program remedial harus memperhatikan perbedaan latar belakang dan kesulitan yang dihadapi masing-masing siswa agar perbaikan yang dilakukan bisa lebih optimal. Menurut Sukiman (2012), bentuk-bentuk pelaksanaan program remedial diantaranya adalah:
a     1.       Pemberian pembelajaran ulang dengan metode dan media yang berbeda,
b     2.      Pemberian bimbingan secara khusus, misalnya bimbingan Perorangan,
c     3.       Pemberian tugas-tugas, latihan secara khusus,
d     4.      Pemanfaatan tutor sebaya.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa program remedial adalah salah satu upaya untuk membantu siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar, berupa kegiatan perbaikan yang mencakup segala bantuan bimbingan yang diberikan kepada siswa untuk meningkatkan hasil belajar agar mencapai ketuntasan belajar yang diharapkan.

    II.            Program Pengayaan
Program pengayaan merupakan kegiatan yang diperuntukkan bagi peserta didik yang memiliki kemampuan akademik yang tinggi yang berarti mereka adalah peserta didik yang tergolong cepat dalam menyelesaikan tugas belajarnya (Sugihartono, 2012). Sedangkan menurut Prayitno (2008), kegiatan pengayaan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seorang atau beberapa orang siswa yang sangat cepat dalam belajar. Mereka memerlukan tugas-tugas tambahan yang terencana untuk menambah memperluas pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliknya dalam kegiatan pembelajaran sebelumnya.

Bentuk-bentuk pelaksanaan program pengayaan diantaranya adalah:
a     1.       Menugaskan siswa membaca materi pokok dalam kompetensi dasar selanjutnya
b     2.      Memfasilitasi siswa melakukan percobaan-percobaan, soal latihan, menganalisa gambar dan sebagainya
c     3.       Memberikan bahan bacaan untuk didiskusikan guna menambah wawasan para siswa.
d     4.      Membantu guru membimbing teman-temannya yang belum mencapai standar ketuntasan minimum.
Berdasarkan pernyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa program pengayaan adalah salah satu upaya untuk membantu siswa yang sudah mencapai ketuntasan belajar untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan yang telah dimilikinya.


Sumber Referensi :

           
           

                                   
                                                                                   
                                               
                                   
                                               
                                                                                                           
Share:

MODEL PEMBELAJARAN NHT DAN TGT




MODEL-MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF( MODEL PEMBELAJARAN NHT DAN MODEL PEMBELAJARAN TGT)
           1.  Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merujuk pada beberapa macam metode pengajaran dan para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran (Slavin, 2008: 4). Dalam pembelajaran kooperatif mempunyai kelebihan yakni dalam mengembangkan hubungan antar siswa dari latar belakang etnik, ekonomi, dan tingkat akademik yang berbeda. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam pembelajaran kooperatif dibentuk kelompok-kelompok kecil yang di dalamnya terdiri dari beberapa siswa yang mempunyai jenis kelamin dan tingkat akademikyang berbeda. Selain itu juga dituntut adanya kerjasama dan saling ketergantungan diantara siswa dalam satu kelompok dalam menyelesaikan suatu tugas.
      1. 1  Unsur-Unsur Pembelajaran Kooperatif
Berdasarkan referensi dari buku karya Ibrahim dan Slavin, unsur - unsur dasar yang terkandung dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:
a) siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan.
b) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya.
c) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
d) siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
e) siswa akan dikenakan evaluasi dan diberi hadiah dan penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
f) siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses pembelajaran.
g) siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

1.2  Ciri-Ciri Pembelajaran kooperatif
Selain adanya unsur pembelajaran kooperatif juga terdapat cirri-cirinya. Ciri-ciri tersebut meliputi:
a     a)      siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
b    b)      kelompok dibentuk dari siswa yang memilki kemampuan tinggi, sedang, rendah.
c    c)      anggota kelompok terdiri dari jenis kelamin berbeda-beda.
d    d)     penghargaan lebih berorientasi kelompok dari pada individu.

1    1.3  Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran penting. Menurut Ibrahim (2000: 9), ada tiga tujuan tersebut meliputi:
a. hasil belajar akademik
b. penerimaan tehadap keragaman
c. pengembangan keterampilan sosial
Ketiga tujuan pembelajaran di atas dapat diuraikan bahwa dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial dapat dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penerimaan keragaman antar siswa dalam satu kelompok yang mana di dalam satu kelompok dituntut adanya kerjasama agar tugas yang dipikul dapat terselesaikan dengan hasil yang baik dan memuaskan. Hasil tugas tersebut akan berpengaruh terhadap hasil belajar akademik karena hasil tugas yang baik dan memuaskan akan memperoleh nilai yang baik pula.
 
2    2.      Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Tournament)
Pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe model, salah satunya yaitu tipe TGT. TGT dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya. Dalam TGT para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat sampai lima orang siswa yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya (Slavin, 2008:11). Gagasan utama dari TGT adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru.

Model pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari atas lima komponen. Menurut Slavin (2008: 143), komponen-komponen tersebut meliputi :
1    1.      Penyajian materi
Pada pembelajaran kooperatif tipe TGT, materi mula-mula diperkenalkan dalam penyajian materi. Sering kali ini merupakan instruksi langsung atau diskusi yang dipandu oleh guru. Dalam hal ini siswa menyadari bahwa mereka harus memperhatikan selama penyajian materi karena dengan demikian akan membantu mereka mengerjakan game dengan baik, skor game mereka menentukan skor kelompok.
2    2.      Tim
Fungsi utama tim atau kelompok adalah untuk meyakinkan bahwa semua anggota kelompok belajar, dan khususnya menyiapkan anggotanya dapat berhasil dalam game. Setelah guru menyajikan materi, kelompok bertemu untuk mempelajari lembar kerja atau materi yang telah disampaikan oleh guru. Seringkali, dalam pembelajaran tersebut melibatkan siswa untuk mendiskusikan soal bersama dan membandingkan jawaban atau menyelesaikan dan mengoreksi jika teman sekelompoknya membuat kesalahan. Setiap kali anggota kelompok ditekan untuk menjadi yang terbaik bagi timnya, dan tim melakukan yang terbaik untuk membantu anggotanya. Tim memberi dukungan untuk pencapaian prestasi akademik yang tinggi dan memberikan perhatian saling menguntungkan dan respek sebagai dampak hubungan intergroup, harga diri dan penerimaan dari siswa sekelompoknya.
3     3.      Game
Game dilengkapi pertanyaan-pertanyaan yang isinya relevan dan didesain untuk menguji pengetahuan siswa dari penyajian materi dan latihan tim. Game dimainkan oleh semua kelompok.
4    4.      Turnamen
Turnamen merupakan struktur game yang dimainkan. Biasanya diselenggarakan pada akhir unit, setelah guru melaksanakan penyajian materi dan tim telah berlatih dengan lembar kerja. Turnamen pertama guru menempatkan siswa ke meja turnamen, tiga siswa terbaik pada hasil belajar yang dulu pada meja satu, Tiga siswa berikutnya pada meja dua dan seterusnya. Kompetisi yang seimbang ini memungkinkan siswa dari semua tingkat hasil belajar yang yang lalu memberi kontribusi pada skor timnya secara maksimal jika mereka melakukan yang terbaik. Setelah turnamen putaran pertama siswa pindah meja tergantung hasil mereka dalam turnamen akhir. Pemenang pertama pada setiap meja ditempatkan ke meja berikutnya yang setingkat lebih tinggi, pemenang kedua tetap berada di meja yang sama, dan yang kalah diturunkan ke meja di bawahnya.
5    5.      Rekognisi Tim
Tim dimungkinkan mendapat sertifikat atau penghargaan lain apabila skor mereka paling tinggi diantar kelompok lain.

Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT Menurut Slavin (2008: 64), langkah dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah sebagai berikut.
1    1.      Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotifasi siswa untuk belajar.
2    2.      Menyajikan informasi
Pada tahap ini guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
3    3.      Mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok
Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok sebelum melaksanakan pembelajaran. Masing-masing kelompok terdiri dari empat sampai lima siswa. Guru juga membantu kelompok-kelompok tersebut dalam menyelesaikan tugasnya.

Cara menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok adalah sebagai berikut:
1    1.      Mengurutkan siswa dari atas ke bawah berdasarkan skor awal yang diperoleh dari rapor atau skor tes.
2    2.      Membagi daftar siswa yang telah urut tersebut menjadi empat bagian.
3   3.      Mengambil satu siswa dari tiap perempatan tersebut sebagai anggota kelompok dan pastikan tim-tim yang terbentuk berimbang berdasarkan jenis kelaminnya.
4    4.      Kerja kelompok
Anggota kelompok menggunakan lembar kegiatan siswa atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya, kemudian saling membantu untuk menuntaskan materi pelajarannya, dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran melalui tutorial, diskusi, dan game. Materi diolah siswa sendiri bersama dengan kelompoknya sehingga siswa lebih mengerti dan memahami materi serta memungkinkan munculnya pertanyaanpertanyaan untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Sedangkan guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugasnya. Pada akhir pembelajaran, satu atau beberapa kelompok mempresentasikan hasil kerjanya untuk dibahas dalam diskusi kelas. Siswa dapat mengajukan pertanyaan, tanggapan dan memberikan jawaban.
5    5.      Evaluasi mandiri
Selama proses pembelajaran guru melakukan evaluasi dan bimbingan. Selain itu guru mengevaluasi hasil belajar siswa tentang materi yang telah dipelajari dengan memberi tes tertulis. Siswa dalam mengerjakan tes ini tidak diperbolehkan untuk bekerjasama dengan siswa lainnya maupun anggota kelompoknya. Setelah selesai mengerjakan tes, tes tersebut dikoreksi oleh guru untuk mendapatkan hasil belajar.
Skor tim diperoleh dari penjumlahan yang diperoleh tiap anggota kelompok. Kelompok yang memperoleh nilai tertinggi diberi penghargaan. Meskipun demikian pembelajaran kooperatif tipe TGT juga memiliki kekurangan diantaranya adalah:
1    1.  Sebagian siswa yang tetap tinggal di meja empat pada permainan TGT ini secara psikologis mempengaruhi kepercayaan diri siswa, hasil belajar siswa terebut pun menjadi kurang maksimal, sehingga perlu dilakukan penelitian dengan model pembelajaran yang lain.
2     2. Tidak semua materi pelajaran sejarah dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT.
       3. Kelas lain terganggu oleh suara siswa yang kadang bertepuk tangan, tertawa, dan lain sebagainya, maka guru memberikan batasan siswa dalam memberikan suport tersebut dengan alasan mengganggu kelas lain.
4   4. Banyak memakan waktu, baik Persiapan dalam rangka pemahaman isi maupun dalam pelaksanaan permainan, maka guru harus memotivasi siswa yaitu dengan memberikan suatu penegasan agar serius dalam melakukan kegiatan tersebut.
Dengan penerapan model pembelajaran TGT diharapkan siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena pada model pembelajaran TGT siswa menggunakan turnamen, sehingga siswa bersemangat untuk mendapatkan skor nilai tinggi agar siswa dapat ikut pada turnamen selanjutnya.

3    3.      Model Pembelajaran NHT
Menurut Slavin (2008: 75), dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT siswa lebih bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan karena dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT siswa dalam kelompok diberi nomor yang berbeda. Setiap siswa dibebankan untuk menyelesaikan soal yang sesuai dengan nomor anggota mereka.
Tetapi pada umumnya mereka harus mampu mengetahui dan menyelesaikan semua soal yang ada dalam LKS. Dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT ada beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu:

a    1. Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.

b    2. Pembentukan Kelompok
Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Selain itu, dalam pembentukan kelompok digunakan nilai tes awal (pre-test) sebagai dasar dalam menentukan masing-masing kelompok. Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru.

      3. Diskusi Masalah
Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang bersifat spesifik sampai yang bersifat umum.

d    4. Memanggil Nomor Anggota atau Pemberian Jawaban
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas.

e    5. Memberi Kesimpulan
Guru memberikan kesimpulan atau jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan.

f.       6. Skor Peningkatan Individu
Skor peningkatan adalah memberikan kepada siswa sasaran yang dapat dicapai jika mereka bekerja lebih giat dan memperhatikan prestasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang dicapai sebelumnya setiap siswa diberi skor awal yang diperoleh dari tes sebelumnya. Hasil tes setiap siswa diberi skor peningkatan yang ditentukan berdasarkan skor tes terdahulu (skor tes awal dan skor tes terakhir). Selisih skor siswa tersebut kemudian diberi skor berdasarkan tabel skor perkembangan di bawah ini sehingga diperoleh skor individu. Skor individu setiap anggota kelompok memberi sumbangan kepada skor kelompok.

      7. Penghargaan Kelompok
Penghargaan kelompok diberikan berdasarkan poin peningkatan kelompok. Skor kelompok adalah rata-rata dari peningkatan individu dalam kelompok tersebut. 

Sumber Referensi :

Share:

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN




A.      Model Pembelajaran (Model Of Teaching)
Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. 

1.      Pencapaian Konsep (Concept Attainment)
Model pembelajaran pencapaian konsep dikembangkan oleh Bruner (Joyce, 2010:32). Bruner, Goodnow, dan Austin (1967) dalam Joyce (2010:125) menyatakan bahwa pencapaian konsep merupakan proses menvariasi dan mendaftar sifat-sifat yang dapat digunakan untuk membedakan contoh-contoh yang tepat dengan contoh yang tidak tepat dari berbagai kategori.
Model pembelajaran pencapaian konsep merupakan metode yang efisien untuk mempresentasikan informasi yang telah terorganisir dari suatu topik yang luas menjadi topik yang lebih mudah dipahami untuk setiap stadium perkembangan konsep. Model pembelajaran pencapaian konsep ini dapat memberikan suatu cara menyampaikan konsep dan mengklarifikasi konsep-konsep serta melatih siswa menjadi lebih efektif pada pengembangan konsep.
 Joyce (2010:128) menyatakan bahwa pengajaran konsep menyediakan kemungkinan–kemungkinan untuk menganalisis proses-proses berpikir siswa dan membantu mereka mengembangkan strategi-strategi yang lebih efektif. Dari pernyataan Joyce tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran pencapaian konsep menekankan pada proses mengembangkan keterampilan berpikir siswa

2.      Latihan Penelitian (Inquiry Training)
Model Inquiry Training (Latihan Inkuiri) adal.ah model pembelajaran dimana pengajar melibatkan kemampuan berpikir kritis pembelajaran untuk menganalisis dan memecahkan persoalan secara sistematik. Latihan inkuiri bertolak dari kepercayaan bahwa agar seseorang menjadi mandiri, dituntut metode yang dapat memberi kemudahan pada pembelajar untuk melibatkan diri dalam penelitian ilmiah. Model pembelajaran ini menggunakan pendekatan induktif dalam menemukan pengetahuan dan berpusat pada keaktifan pembelajar. Jadi bukan pembelajaran yang berpusat pada pengajar. Dalam model pembelajaran ini isi dan proses peyelidikan diajarkan bersama-sama dalam waktu yang bersamaan. Pembelajar melalui proses penyelidikan akhimya sampai kepada isi pengetahuan itu sendiri. Jadi, tujuan umum dan model latihan inlmiri adalah membantu peserta didik mengembangkan keterampi~an intelektual dan keterampilan-keterampilan lrunnya, seperti mengajukan pertanyaan dan menemukan (mencari) jawaban yang berawal dari keingintahuan mereka (Sani dan Syihab, 2010:17-18).
Joyce dan Weil (2009) mengemukakan pembelajaran model inquiry training memiliki 5 langkah pokok:
1)        Menghadapkan pada masalah: menjelaskan prosedur penelitian, menjelaskan perbedaan- perbedaan.
2)        Pengumpulan data (Verifikasi): memverifi- kasi hakikat objek dan kondisinya memve- rifikasi peristi\w. dari keadaan permasalahan.
3)        Pengumpulan data (Eksperimentasi): memi- sahkan variabel yang relevan, menghipotesiskan (serta menguji) hubungan kausal.
4)        Mengolah, memformulasikan suatu penjelasan: memformulasikan aturan dan penjelasan.
5)        Analisis proses penelitian: menganalisis strategi penelitian dan mengembangkan yang paling efektif

                3.        Berpikir induktif (Inductive Thinking) 
Taba dalam Purwanto (2012) model pembelajaran berpikir induktif sebenarnya merupakan pembawaan sejak lahir dan keberadaannya sudah absah. Ia hadir sebagai suatu revolusioner, mengingat sekolah-sekolah saat ini telah memutuskan untuk mengajar dalam corak yang tidak absah dan sering merongrong kapasitas bawaan sejak lahir.
Model belajar berfikir induktif (inductive thinking) sangat diperlukan dalam kegiatan akademik. Berfikir induktif (inductive thinking) adalah kemampuan untuk menganalisa informasi dan membangun konsep umumnya dianggap sebagai keterampilan pemikiran mendasar. Bahkan jika pembelajaran konsep tidak begitu kritis dalam perkembangan pemikiran, organisasi informasi yang begitu fundamental dalam ranah kurikulum. Dengan demikian, pemikiran induktif akan menjadi model yang sangat penting untuk belajar dan mengajar mata pelajaran sekolah.

                 4.      Model Sinektik (Synectics Model)
Gordon (dalam Joyce 2011:252) menggagas sinektik berdasarkan empat gagasan yang sekaligus juga menyaingi pandangan-pandangan konvensional tentang kreativitas. Pertama, karena kreativitas penting dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, proses kreatif tidak selamanya serius. Ketiga, penemuan yang dianggap inovasi atau kreatif sama rata di semua bidang seni, sains, teknik, dan ditandai oleh proses intelektual yang sama. Keempat, bahwa penemuan (pola pikir kreatif) individu maupun kelompok tidak berbeda. Melalui aktivitas metaforis dalam model sinektetik, kreativitas menjadi proses yang dapat dijalankan secara sadar. Metafora-metafora membangun hubungan perumpamaan,perbandingan satu objek atau gagasan dengan objek atau gagasan lain, dengan cara menukarkan posisi keduanya.
Melalui substitusi ini, proses kreatif muncul, yang dapat menghubungkan sesuatu yang familiar dengan yang tidak familiar atau membuat gagasan baru dari gagasan-gagasan yang biasa. Terdapat dua strategi atau model pengajaran yang didasarkan pada prosedur-prosedur sinektik. Salah satunya adalah membuat sesuatu yang baru (creating something new), dirancang untuk membuat hal-hal yang familiar menjadi asing, untuk membantu siswa melihat masalah-masalah, gagasan-gagasan, dan hasil-hasil yang lama dengan cara yang baru, pandangan yang lebih kreatif. Sedangkan strategi yang lain yaitu membuat yang asing menjadi familiar (making the strange familiar), dirancang untuk membuat gagasan-gagasan yang baru dan tidak familiar menjadi bermakna.

5.      Problem Based Learning


Problem based learning merupakan pembelajaran berdasarkan masalah, telah dikenal sejak zaman Jonh Dewey. Dewey mendeskripsikan pandangan tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan penuntasan masalah kehidupan nyata (Arends, 2008:46).

Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi,

mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri, hal ini diungkapkan Arends dalam Trianto (2007: 68).

Dari pendapat tersebut diatas dapat dipahami bahwa problem based learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar, dengan membangun cara berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah, serta mengkostruksi pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Jadi problem based learning memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat efektif dan dicapai jika kegiatan pembelajaran dipusatkan pada tugas-tugas atau permasalahan yang otentik, relevan dan dipresentasikan dalam suatu konteks.



2. Karakteristik Model Problem Based Learning

Problem based learning dengan pengharapan peserta didik belajar di lingkungan kecil atau kelompok kecil akan membantu perkembangan masyarakat belajar. Bekerja dalam kelompok juga membantu mengembangkan karakteristik esensial yang dibutuhkan untuk sukses setelah siswa tamat belajar seperti dalam berkomunikasi secara verbal, berkomunikasi secara tertulis dan keterampilan membangun team kerja.

Dari berbagai model pembelajaran yang mulai dikembangkan itu memiliki masing-masing karakteristik. Para pengembang pembelajaran problem based learning (Krajcik, Blumenfeld, Marx, Soloway, Slavin Maden, Dolan, Wasik, Cognition dan Teknology Group at Vanderbit) telah mendeskripsikan karakteristik sebagai berikut (Arends, 2009: 42):



· Pengajuan pertanyaan atau masalah.

Pembelajaran problem based learning mengorganisasi pembelajaran dengan diseputar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi peserta didik. Pengajuan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

· Berfokus pada interdisipliner.

Meskipun problem based learning dipusatkan pada subjek tertentu atau mata pelajaran tertentu, akan tetapi masalah yang dipilihkan benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran

· Investigasi autentik

Problem based learning mengharuskan siswa untuk melakukan investigasi autentik atau peyelidikan autentik untuk menemukan solusi riil. Mereka harus menganalisis, mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksprimen (bila memungkinkan) membuat inferensi dan menarik kesimpulan.

· Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya

Problem based learning menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka
temukan. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat, debat bohong-bohongan, dan dapat juga dalam bentuk laporan, model fisik, video, maupun program computer. Karya nyata itu kemudian di demonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
 

· Kolaborasi

Problem based learning dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk keterlibatan secara berkelanjutan dalam tugas-tugas kompleks dan meningkatkan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan dialog bersama dan untuk mengembangkan berbagai keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.

Jadi problem based learning tidak dirancang untuk membantu guru menyampaikan informasi dengan jumlah besar kepada peserta didik, akan tetapi problem based learningdirancang terutama untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah dan keterampilan intelektualnya, mempelajari peran-peran orang dewasa dengan mengalaminya melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan, dan menjadi peserta didik yang mandiri dan otonom. 
Keterampilan berpikir yang dibangun pada pelaksanaan problem based learning tentu berimplikasi dari apa yang menjadi karakternya. Tingkat berpikir
                     

3.         Prosedur Pelaksanaan Model Problem Based Learning

Konsep tentang problem based learning adalah sangat jelas, tidak rumit dan mudah untuk menangkap ide-ide dasar yang terkait dengan model ini. Namun bagaimanapun juga pelaksanaan model itu secara efektif lebih sulit. Penerapan model pembelajaran ini membutuhkan banyak latihan dan mengharuskan untuk mengambil keputusan-keputusan khusus pada saat fase perencanaan, interaksi dan fase setelah pembelajarannya.

Beberapa prinsip pembelajaran sama dengan prinsip yang telah dideskripsikan untuk presentasi, pengajaran langsung dan cooperative learning, tetapi sebagian lainnya unik bagi problem based learning. Penekanan diberikan pada ciri unik model tersebut dalam proses pelaksanaannya adalah (Arends, 2009: 52-56), (Ibrahim dan Nur, 2005: 24-29) :


a.   Melaksanakan Perecanaan

Pada tingkat yang paling mendasar, problem based learning dicirikan mengenai peserta didik bekerja dalam berpasangan atau kelompok kecil untuk melakukan penyelidikan masalah-masalah kehidupan nyata yang belum teridentifikasi dengan baik. Karena tipe pembelajaran ini sangat tinggi kualitas interaktifnya, beberapa ahli berpendapat bahwa perencanaan yang terinci tidak dibutuhkan dan bahkan tidak mungkin. Penyederhanaan ini tidak benar. Perencanaan untuk pembelajaran problem based learning seperti halnya dengan pelajaran interaktif yang lain, pendekatan yang berpusat pada peserta didik, membutuhkan upaya perencanaan sama banyaknya atau bahkan lebih. Perencanaan guru itulah yang memudahkan pelaksanaan berbagai fase pembelajaran problem based learning dan pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan. 

1)      Penetapan tujuan

Penetapan tujuan pembelajaran khusus untuk pembelajaran problem based learning merupakan salah satu di antata tiga pertimbangan penting perencanaan. Sebelumnya problem based learning dirancang untuk membantu mencapai tujuan-tujuan yaitu meningkatkan keterampilan intelektual dan investigasi, memahami peran orang dewasa, dan membantu peserta didik untuk menjadi mandiri. Akan tetapi  kemungkinan  yang  lebih  besar  adalah  guru  hanya  akan menekankan pada satu atau dua tujuan 
pembelajaran tertentu.

2)      Merancang situasi masalah

Problem based learning didasarkan pada anggapan dasar bahwa situasi bermasalah yang penuh teka teki dan masalah yang tidak terdefinisikan secara ketat akan merangsang rasa ingin tahu peserta didik hingga membuat mereka tertarik untuk menyelidiki.

Menurut Sanjaya (2008: 216) bahan pembelajaran atau masalah yang ditawarkan adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dan kondisi yang diharapkan, atau antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang di harapkan. Kesenjangan tersebut bisa dirasakan dari adanya keresahan, keluhan, kerisauan dan kecemasan. Oleh karena itu kriteria pemilihan bahan pelajaran atau masalah adalah :

a)      Masalah yang mengandung isu-isu, konflik (compflict issue) yang bisa bersumber dari berita, rekaman video dan yang lainya.

b)      Yang dipilih adalah bahan yang bersifat familier dengan peserta didik, shingga setiap peserta didik dapat mengikutinya dengan semangat.

c)      Yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal), sehingga terasa manfaatnya.
d)     Yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

e)      Yang dipilih sesuai dengan minat peserta didik sehingga setiap peserta didik merasa perlu untuk mempelajarinya.

3)     Organisasi sumber daya dan rencana logistik

Problem based learning mendorong peserta didik untuk bekerja dengan berbagai bahan dan alat, beberapa di antaranya dilakukan di dalam kelas, yang lainnya di perpustakaan atau laboratorium komputer, sementara yang lainnya berada di luar sekolah. Untuk pekerjaan yang berada di luar sekolah mendatangkan masalah khusus bagi guru. Oleh karena itu tugas mengorganisasikan sumber daya dan merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan peserta didik, haruslah menjadi tugas perencanaan yang utama bagi guru.


    b. Melaksanakan Pembelajaran

Pada pelaksanaan problem based learning ada lima fase dan prilaku yang dibutuhkan dari guru untuk dilalui yakni :

1)        Memberikan orientasi masalah kepada siswa

Guru harus menjelaskan proses-proses dan prosedur-prosedur model itu secara terperinci, hal yang perlu dielaborasi antara lain:

a)   Tujuan utama pembelajaran bukan untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru tetapi menginvestigasi berbagai permasalah penting dan menjadi pelajar yang mandiri. Untuk peserta didik yang lebih muda, konsep ini dapat dijelaskan sebagai pelajaran bagi mereka untuk dapat “menemukan sendiri makna berbagai hal”.

b)   Permasalah atau pertanyaan yang diinvestigasi tidak memiliki jawaban yang mutlak “benar” dan sebagian besar permasalahan kompleks memiliki banyak solusi yang kadang-kadang saling bertentangan.

c)      Selama fase investigasi pelajaran, peserta didik akan didorong untuk melontarkan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan memberikan bantuan, tetapi siswa mestinya berusaha bekerja secara mandiri atau dengan teman-temannya.

d)  Selama fase analisis dan penjelasan pelajaran, siswa akan di dorong untuk mengekspresikan ide-idenya secara terbuka dan bebas. Tidak ada ide yang ditertawakan oleh guru maupun teman sekelas. Semua siswa akan diberi kesempatan untuk berkonstribusi dalam investigasi dan mengekspresikan ide-idenya.

2)        Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Pada model pembelajaran berdasarkan masalah dibutuhkan pengembangan keterampilan kerjasama diantara siswa dan saling membantu untuk menyelidiki masalah secara bersamaan. Berkenaan dengan hal tersebut peserta didik memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas pelaporan.


3)        Membantu penyelidikan individu dan kelompok

Hal yang dilakukan guru adalah membantu penyelidikan peserta didik secara individu maupun kelompok dengan jalan yaitu:

a)      Pengumpulan data dan eksperimentasi, guru membantu peserta didik untuk pengumpulan informasi dari berbagai sumber, peseta didik diberi pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Peserta didik diajarkan untuk menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang dihadapinya, peserta didik juga perlu diajarkan apa dan bagaimana etika penyelidikan yang benar.

b)      Guru mendorong pertukaran ide secara bebas dan penerimaan sepenuhnya gagasan-gagasan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam tahap penyelidikan dalam rangka, selama tahap penyelidikan, guru seharusnya menyediakan bantuan yang dibutuhkan tampa mengganggu aktifitas peserta didik.

c)      Mengembangkan dan menyajikan artifak dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, artifak meliputi berbagai karya seperti videotape yang menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan. Setelah artifak dikembangkan, maka guru seringkali mengorganisasikan pamertan untuk memamerkan dan mempublikasikan hasil karya tersebut.


4)    Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah

Tahap akhir problem based learning meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisa dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan di samping itu juga keterampilan penyelidikan dan keterampilan intelektual yang mereka gunakan.




SINTAKS PROBLEM BASED LEARNING

Fase

Perilaku Guru





Fase 1: Orientasi siswa kepada maslah
Guru
menjelaskan  tujuan
pembelajaran,

menjelaskan
logistik
yang
dibutuhkan,

memotivasi  siswa  terlibat  pada  aktivasi

pemecahan masalah yang dipilihnya






Fase 2: Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru
membantu
peserta
didik

mendefinisikan
dan
mengorganisasikan

tugas  belajar  yang  berhubungan  dengan

masalah tersebut.






Fase 3:  Membimbing penyelidikan individu
Guru   mendorong  peserta   didik  untuk
maupun kelompok
mengumpulkan
infomasi
yang
sesuai

melaksanakan

eksprimen,
untuk

mendapatkan
penjelasan  dan  pemecahan

masalah










Fase 4: Mengembangkan  dan menyajikan
Guru
membantu
siswa
dalam
hasil karya
merencanakan dan menyiapkan karya yang

sesuai  seperti  laporan,  video,  dan  model

dan membantu mereka untuk berbagi tugas

dengan temannya.





Fase 5: Mengembangkan dan mengevaluasi
Guru   membantu   peserta   didik   untuk
proses pemecahan masalah
melakukan refleksi atau evaluasi terhadap

penyelidikan  mereka  dan  proses-proses

yang mereka gunakan.












Sumber Referensi :





Share:

About

Blogger templates