SIGMA FISIKA

SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI TEMPAT BELAJAR DAN BERBAGI ILMU PENGETAHUAN

Tuesday, May 14, 2019

SEJARAH PTK, ETIKA PTK, KRITIK TERHADAP PTK, PERBEDAAN PTK DAN NON PTK




 




A.      SEJARAH LAHIRNYA PTK

Cikal bakal lahirnya penelitian tindakan kelas (PTK) dapat ditelusuri dari awal penelitian dalam ilmu pendidikan yang diinspirasi melalui pendekatan ilmiah yang diadvokasi oleh filsuf John Dewey (1910) dalam bukunya How We Think dan The Source of a Science of Education (Supardi, 2002:101). Pendekatan ilmiah yang dianut Dewey sangat ideal, namun pendekatan demikian tidak mampu menyelesaikan masalah sosial menjadi sebuah inkuiri sosial maupun kependidikan yang merupakan sebuah upaya kolaboratif dengan munculnya suatu kebutuhan yang mendesak dalam ilmu pendidikan yang lebih memfokuskan pada masalah praktik bukan pada teori. Kebutuhan terhadap sebuah upaya kolaboratif dalam menyibak tabir pendidikan semakin hari dirasakan semakin mendesak.
Perkembangan selanjutnya mengenai PTK digagas oleh seorang psikolog sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Gagasan Lewin dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot dan Dave Ebbut dan sebagainya. Lewin mendirikan lembaga riset The Research Center For Group Dynamics di Massachusset Institute of Tecnology. Lewin mengunakan istilah action research dalam upaya memecahkan persoalan di masyarakat. Dalam risetnya, Lewin menekankan pentingnya kerjasama dalam mengumpulkan data sosial.
Action research dikembangkaan Kurt Lewin dengan tujuan untuk mencari penyelesaian terhadap problem sosial, seperti pengangguran atau kenakalan remaja yang berkembang di masyarakat. Action research diawali oleh suatu kajian terhadap suatu problem secara sistematis.
    Hasil kajian ini kemudian dikembangkan sebagai dasar untuk menyusun suatu rencana kerja sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan dan rencana kerja yang telah disusun, dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang hasilnya digunakan sebagai masukkan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada saat tahapan pelaksanaan. Hasil dari proses refleksi ini, melandasi upaya perbaikan dan penyempurnaan rencana tindakan selanjutnya.
Menurut Lewin, action research dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: (1) penelitian komparatif yang membandingkan kondisi dan pengaruh dari berbagai ragam tindakan sosial, dan (2) penelitian yang merespon konflik-konflik sosial tertentu dan mengarahkannya pada tindakan sosial. Pengetahuan (teori) tentang tindakan sosial dapat dikembangkan dari hasil pengamatan terhadap tindakan dalam konteks.
Riset tindakan yang dilakukan Lewin secara umum menggunakan langkah spiral yang terdiri dari planning, action, observation, reflection dan planning act. Riset tindakan bukan hanya membantu manusia dan organisasi bersikap terhadap dunia luar, tetapi juga membantu mengubah dan berefleksi tentang sistemnya sendiri. Riset tindakan bukan hanya akan mengembangkan suatu organisasi keluar, tetapi juga pengembangan ke dalam (Suparno, 2008:11).
Dekade 50-an Stephen Corey mengembangkan action research dalam dunia pendidikan dengan melibatkan guru, supervisor, orang tua dan administrator sekolah. Corey menyatakan bahwa metode penelitian ilmiah kuantitatif kurang memberikan sumbangan nyata pada praktek pendidikan dan sebagian besar peneliti kependidikan hanya sampai pada generalisasi tanpa diikuti tindakan dari hasil penelitiannya. Dalam penelitian tindakan, perubahan-perubahan dalam praktek pendidikan sangat mungkin terjadi, sebab pengajar, pengawas dan tenaga kependidikan lainnya terlibat langsung dalam penelitian dan mengaplikasikan temuannya.Selanjutnya Corey, menjelaskan bahwa manfaat penelitian tindakan dalam pendidikan terletak pada aspek peningkatan kualitas praktek kependidikan. Generalisasi yang dihasilkan dari penelitian tindakan sangat tepat untuk diterapkan pada situasi penelitian itu sendiri, bukan yang lebih luas.
   Tahun 1957, Hodgkinson menyampaikan beberapa kritik terhadap penelitian tindakan. Menurutnya, praktisi pendidikan kurang akrab dengan teknik-teknik dasar penelitian dan penelitian bukan merupakan pekerjaan amatiran. Guru tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan penelitian dan waktu yang mereka gunakan untuk penelitian sering dikacaukan dengan kegiatan pengajaran yang dilakukannya.
Riset tindakan juga diadopsi dalam dunia pendidikan pada awal dekade 70-an di Inggris bertepatan dengan munculnya gerakan “guru sebagai peneliti “teacher-reseachers” yang dikembangkan Lawrence Stenhouse. Stenhouse membantu guru mengembangkan peran guru sebagai peneliti. Guru diajak berefleksi secara kritis dan sistematis tentang praktik mengajar sehingga dapat membangun teori kurikulum sendiri. Guru harus menjadi ahli dalam bidangnya lewat penelitian terhadap tindakannya sendiri sebagai upaya melihat persoalan dan mencari pemecahan tentang persoalan yang ditemui.
Akhir dekade 70-an dan awal dekade 80-an di Amerika Serikat juga muncul keinginan mewujudkan riset tindakan dengan melakukan kolaborasi sehingga dengan demikian mampu mengembangkan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan. Tahun 1972-1973 John Elliot dan Adelman memimpin sebuah proyek penelitian pembelajaran yang melibatkan sekitar 40 guru sekolah dasar dan sekolah menengah. Dalam penelitian tersebut disusun hipotesis yang berkaitan dengan upaaya meningkatkan dan memperbaiki proses pengajaran guru dan hasilnya digunakan guru. Dari sinilah muncul istilah guru peneliti, penelitian praktis dan penelitian tindakan. Sekitar tahun 1980, proyek John Elloit melakukan kajian yang berfokus pada penelaahan kesenjangan antara mengajar yang seharusnya dengan mengajar pada praktik.
Pada tahun 1976, di Universitas Cambridge didirikan jaringan penelitian tindakan kelas yang dinamai dengan classroom action research. Gideonse (1983) dalam Supardi (2002:101) menjelaskan bahwa perlu dilakukan restorasi terhadap pendekatan penelitian sehingga penelitian tindakan merupakan suatu investigasi terkendali terhadap berbagai faset pendidikan dan pembelajaran dengan cara reflektif dan sistematis. Dukungan kolaboratif semakin meluas sehingga dikenal dengan suatu penelitian tindakan kelas (classroomaction research).
      Perkembangan PTK semakin meluas dibelahan dunia ini, termasuk di Indonesia mulai dikenal pada akhir dekade 80-an. Di Indonesia, PTK mulai digerakkan pada waktu upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan di mulai dengan renovasi di tingkat pendidikan guru sekolah dasar, kemudian meluas ke kalangan guru-guru sekolah menengah.
Saat ini, PTK banyak dilakukan para tenaga pengajar sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran. Jenis penelitian ini bermanfaat bagi tenaga pengajar dalam rangka meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran. Melalui PTK tenaga pengajar dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri. Di samping itu laporan PTK dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mendapatkan angka kredit dalam kepangkatan karirnya sebagai pendidik.

B.      URGENSI PTK

Pendidikan yang berlangsung di Indonesia mengalami berbagai persoalan yang komplek terkait dengan berbagai komponen yang melingkupinya. Penyelesaian persoalan pendidikan tersebut tidak dapat hanya dibebankan kepada pemerintah saja dalam hal ini Kementerian Pendidikan. Dengan kata lain semua komponen yang terlibat dalam pendidikan, termasuk guru diharapkan memberikan konstribusi untuk mengatasi masalah dan ikut membantu kemajuan pendidikan. Guru tidak dapat berpangku tangan dan hanya melihat-lihat saja tanpa melakukan suatu aksi.
Pembaharuan dan perubahan hendaknya dimulai dari pribadi guru itu sendiri selaku pelaku dan ujung tombak dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dalam hal ini proses pembelajaran yang dilakukan di kelas tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh tenaga pengajar. Oleh karena itu tenaga pengajar menjadi salah satu komponen penting dari suatu sistem pembelajaran. Untuk itu kualitas tenaga pengajar sebagai profesional dalam bidangnya tidak hanya sebatas penguasaan terhadap metodologi mengajar dan penguasaan bahan ajar yang dapat diterapkan dalam pembelajaran. Lebih dari sekedar itu, tenaga pengajar haruslah memahami keadaan kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik yang unik dan khas. Salah satu upaya dari berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas tenaga pengajar sebagaimana diharapkan dapat dilakukan melalui kemampuan guru dalam menguasai teori dan praktik pelaksanaan PTK.


Urgensi PTK dalam menyahuti kebutuhan guru untuk meningkatkan profesionalitasnya juga dinyatakan Mega dan Dewi (2009:8-9) sebagai berikut:

1.      1. PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka terhadap dinamika pembelajaran di 
        kelasnya. Guru menjadi reflektif dan kritis terhadap apa yang guru dan siswa lakukan.
2.    PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi bertindak hanya sebagai seorang praktisi saja yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakannya selama bertahun- tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi, namun guru juga bertindak sebagai peneliti di bidangnya.
3.      Dengan melaksanakan tahapan-tahapan PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terjadi dikelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata- mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang di kelasnya.
4.      Pelaksanaan PTK tidak mengganggu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
5.      Dengan melaksanakan PTK, guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.
6.      Penerapan dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik mengajar guru dalam sebuah pembelajaran serta berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran, mengembangkan keterampilan guru, meningkatkan relevansi, meningkatkan efisiensi pengelolaan pembelajaran serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.


   Berdasarkan uraian di atas terlihat rasionalitas yang menggambarkan urgensi PTK yaitu: Pertamaberhubungan dengan tugas profesional guru. Guru profesional tidak akan merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya. Untuk itu guru profesional akan secara terus menerus menambah dan meningkatkan kemampuannya sesuai dengan tugas dan tanggung- jawabnya. Kedua, berkaitan dengan otonomi guru dalam pengelolaan kelas, artinya guru memiliki tanggung jawab penuh untuk keberhasilan pembelajaran siswa. Dengan kata lain apa yang akan dilakukan guru dalam kelas bergantung pada guru itu sendiri. Dengan demikian guru memiliki kesempatan yang luas untuk berinovasi yang dianggapnya bermanfaat dalam meningkatkan kinerjanya. Ketiga, berkenaan dengan pemanfaatan hasil penelitian. Selama ini banyak penelitian yang telah, sedang dan akan dilakukan peneliti, akan tetapi hasilnya sulit diterapkan oleh guru. Hal ini selain masalah yang dikaji bukan berasal dari kebutuhan dan masalah yang dihadapi guru.

C.      KONDISI YANG DIPERSYARATKAN DALAM PTK

PTK merupakan satu upaya untuk menumbuhkembangkan pem- baharuan yang dapat meningkatkan atau memperbaiki proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Agar PTK dapat dilaksanakan secara tepat, maka berbagai kondisi harus dipenuhi sebagaimana dijelaskan Hodgkinson (1988) dalam Mega dan Dewi (2009:32) sebagai berikut:
1.      Kesediaan untuk mengakui kekurangan diri.
2.      Kesempatan yang memadai untuk menemukan sesuatu yang baru.
3.      Dorongan untuk mengemukakan gagasan baru.
4.      Waktu yang tersedia untuk melakukan percobaan.
5.      Kepercayaan timbal balik antar orang-orang yang terlibat.
6.      Pengetahuan tentang dasar-dasar proses kelompok oleh peserta penelitian,

Wardani, dkk (2006:23-24) memaparkan kondisi yang harus dipenuhi agar pelaksanaan PTK berhasil dengan maksimal adalah:

1.      Sekolah harus memberikan kebebasan yang memadai bagi guru untuk melakukan PTK, berkolaborasi dengan teman guru lainnya, dapat secara bebas meminta rekan sejawat menjadi pengamat bagi kelasnya, dan bebas berdiskusi tentang kemajuan kelasnya, di samping dapat menumbuhkan rasa saling mempercayai. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masalah birokrasi dan  formalitas  yang  ada di sekolah sering kali tidak menunjang terjadinya hal tersebut.
2. Sejalan dengan pemikiran di atas, maka birokrasi dan formalitas organisasi di sekolah hendaknya diminimalkan. Sebaliknya yang harus ditumbuhkan adalah kolaborasi atas kerjasama yang saling menguntungkan, serta pengambilan keputusan secara bersama.
3.     Sekolah semestinya selalu mempertanyakan apa yang diinginkan bagi sekolahnya. Jika keinginan tersebut memang merupakan komitmen sekolah, maka PTK seagai satu bentuk inovasi di sekolah akan dapat tumbuh subur dan kegiatan PTK mungkin akan menjadi kegiatan rutin bagi guru.
4.      PTK mempersyaratkan keterbukaan dari semua staf sekolah untuk membahas masalah yang dihadapi tanpa rasa khawatir akan dicemoohkan. Diskusi dengan teman sejawat tentang masalah yang dihadapi dan kemudian setiap staf menganggap masalah yang dibahas merupakan masalah bersama, merupakan kondisi yang dipersyaratkan untuk berkembangnya PTK di sekolah.
5.    Sikap kepala sekolah dan staf administrasi harus menunjang terjadinya pembaharuan. Sikap negatif yang ditunjukkan meskipun hanya selintas akan merusak iklim inovasi yaang sedang tumbuh.
6.      Guru dan siswa harus mempunyai rasa percaya diri yang tinggi bahwa mereka sedang melakukan satu pembaharuan yang didukung oleh kepala sekolah dan juga orang tua.
7.      Guru harus siap menghadapi berbagai konflik yang baru biasanya mendapat perhatian lebih daripada yang lama yang sudah diakrabi setiap hari. Hal ini perlu untuk menghindari munculnya kecemburuan sosial.

Sani dan Sudiran (2012:8-9) menjelaskan beberapa syarat harus dipenuhi agar PTK yang dilakukan dapat berhasil. Syarat tersebut adalah:
   1.  Guru beserta siswa harus mempunyai tekad dan komitmen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan komitmen itu terwujud dalam keterlibatan dalam seluruh kegiatan PTK secara proporsional. Siswa perlu diajak untuk berpartisipasi mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh guru melalui kegiatan PTK.

2. Tindakan yang dilakukan hendaknya berdasarkan pengetahuan, baik pengetahuan konseptual dari tujuan pustaka teoritis, maupun pengetahuan teknis prosedural yang diperoleh lewat refleksi kritis dan dipadukan dengan pengalaman orang lain, berdasarkan nilai- nilai yang diyakini kebenarannya. Refleksi kritis dapat dilakukan dengan baik jika didukung oleh keterbukaan dan kejujuran terhadap diri sendiri, khususnya kejujuran mengakui kelemahan/kekurangan diri. Guru harus yakin bahwa situasi dapat diubah ke arah perbaikan dengan melakukan tindakan tersebut.
3.      Pemantauan pembelajaran harus dilakukan secara sistematik agar guru dapat mengetahui arah dan jenis perbaikan yang terjadi ber- dasarkan data yang akurat. Analisis dan refleksi yang mendalam perlu dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap pembelajaran dan pemahaman tentang bagaimana perbaikan ini telah terjadi.
4.      Guru atau kolaborator perlu membuat deskripsi otentik objektif (bukan penjelasan) tentang tindakan yang dilaksanakan. Oleh sebab itu sangat disarankan untuk membuat rekaman video atau audio pembelajaran atau membuat catatan tentang proses pembelajaran. Perlu diperhatikan bahwa PTK merupakan penelitian kualitatif sehingga catatan tentang proses pembelajaran sangat dibutuhkan untuk menjelaskan peningkatan yang mungkin terjadi.
5.      Guru perlu memberi penjelasan tentang tindakan berdasarkan deskripsi autentik yang telah dikumpulkan yang mencakup identifikasi makna-makna yang mungkin diperoleh dengan dukungan teori yang relevan serta keterkaitannya dengan penelitian lain, dan konstruksi model/teori beserta penjelasannya dalam konteks praktek terkait. Guru juga perlu mempermasalahkan deskripsi terkait, yaitu secara kritis mempertanyakan motif tindakan dan evaluasi terhadap hasilnya.

D.    ETIKA PENELITI PTK

Dalam melakukan penelitian secara umum maupun secara khusus melakukan PTK mempunyai nilai-nilai etika yang perlu diperhatikan baik sebelum melaksanakan penelitian, selama penelitian maupun sesudah penelitian dan membuat laporan penelitian PTK. Dalam hal
ini Suparno (2008:92) menformulasikan dua nilai etika yang penting yang bagi peneliti PTK yaitu:

1.       InformedConsent.
Informedconsent adalah izin tertulis dari subjek yang akan diteliti atau tempat yang akan digunakan sebagai lokasi penelitian. Sebelum peneliti mendapatkan izin, maka peneliti tidak boleh melakukan penelitian atau mulai mengambil data. Oleh karena itu, peneliti perlu minta  izin atau persetujuan kepada sampelyang mau diteliti. Sebelum melakukan penelitian, peneliti harus mempunyai izin dari subjek yang menyatakan bahwa ia memang mau dan dengan bebas bersedia digunakan sebagai subjek PTK. Izin ini untuk menghargai subjek, bahwa mereka bebas menerima menjadisubjek PTK. Kebebasan itu ditandai dengan mereka tahu apa yang akan dilakukan dan kemungkinan  bahaya  yang  ada.  Hal ini untuk menghindari paksaan karena orang tidak tahu apa yang terjadi. Sebab, kalau subjek keberatan maka dia berhak mengundurkan diri di tengah jalan.
Izin harus memuat apa yang akan dilakukan terhadap subjek, misalnya diwawancarai, mengisi angket, dipantau, direkam dan lain-lain. Juga perlu diinformasikan kapan penelitian akan dilakukan dan di mana. Unsur konfidensialitasnya diungkap yaitu bahwa penelitian ini tidak akan mencantumkan nama dan hanya ditulis anonim serta hanya untuk kepentingan penelitian. Peneliti juga tidak membuka rahasia dan segala apa yang diungkapkan subjek dalam penelitian kepada pihak lain.
Bagi guru yang melakukan PTK di kelasnya dan meneliti siswanya sendiri, adakalanya tidak memerlukan izin tertulis dari siswa cukup izin dari kepala sekolah saja. Namun demikian agar semuanya terbuka dan jelas, tetap perlu memberitahukan kegiatannya terhadap siswa.

2.        Kejujuran penelitian.
Etika yang terpenting bagi peneliti adalah etika kejujuran dalam melakukan penelitian. Kejujuran diwujudkan dalam bentuk:


a.    Jujur pada subjek. Kadang sebagian peneliti tidak mengungkapkan ada yang akan dilakukan pada subjek, alasanya supaya tidak terjadi penolakan dari subjek. Peneliti menutupi apa yang mau dilakukan, agar mendapatkan data yang baik. Hal ini secara etik tidak diperbolehkan. PTK di sekolah seharusnya jujur,  tidak ada tipuan, karena semua  itu adalah untuk kemajuan kelas, sekolah dan siswa. Bahkan siswa atau sekolah perlu dilibatkan dan tahu sebanyak mungkin.
b.      Jujur dengan data. Semua data ditulis apa adanya dan juga digunakan seperti adanya. Peneliti tidak boleh mengubah data yang telah di- kumpulkan hanya demi kecocokan hasil. Justru dengan data yang jujur itulah pengetahuan akan kuat dan barangkali justru ditemukan persoalan yang sesungguhnya ada dan dapat dicarikan pemecahan yang tepat.
c.       Peneliti perlu dengan cermat mencatat data setiap saat, secara akurat dan tidak memanipulasi data.
d.      Tidak menipu subjek dalam menyetujui informed consent, maupun dalam mengorek data dari subjek.
e.       Jujur dalam analisis, membuat laporan, ataupun dalam referensi.
f.    Menjaga konfidensialitas, bila memang semua data tidak akan disampaikan kepada pihak lain maka peneliti harus memegang janji tersebut.

Kunandar (2008:76) mencatat etika yang perlu menjadi perhatian seorang peneliti (guru) dalam melakukan PTK yaitu:
1.      Meminta kepada orang-orang, panitia atau yang berwenang persetujuan dan izin.
2.      Ajaklah kawan-kawan sejawat terlibat dan berpartisipasi dalam PTK.
3.      Terhadap teman sejawat yang tidak terlibat, perhatikan juga pendapat mereka.
4.      Penelitian berlangsung terbuka dan transparan, saran-saran diperhatikan dan kawan sejawat diperbolehkan mengajukan protes.
5.      Catatan dan deskripsi kegiatan hendaknya relevan, akurat dan adil.
6.      Wawancara, pertemuan atau tukar pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pandangan lain, relevan, akurat dan adil.
7.      Rujukan langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan, atau rekomendasi hendaknya mendapat izin atau otoritas kutipan.

    8.   Laporan disusun untuk kepentingan yang berbeda, seperti lembaga peneliti bekerja, untuk jurnal, media massa, orang tua murid dan pihak-pihak lain yang terkait.
   9.  Semua mitra penelitian mengetahui dan menyetujui prinsip-prinsip kerja sebelum PTK berlangsung.
    10.    Hak melaporkan kegiatan dan hasil penelitian, apabila sudah disetujui oleh para mitra peneliti dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang terlibat, maka laporan tidak boleh diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan.

Kemmis dan Taggart sebagaimana dikutip Hopkins (1993:221-
222) menjelaskan pedoman etika yang harus ditaati oleh peneliti sebelum, selama dan sesudah penelitian PTK dilakukan sebagai berikut:
1.         Meminta kepada lembaga, panitia atau yang berwenang memberikan persetujuan dan izin penelitian.
2.         Ajaklah rekan sejawat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam penelitian.
3.         Terhadap pihak yang tidak terlibat langsung, perhatikan juga pendapatnya.
4.         Penelitian berlangsung terbuka dan transparan, saran-saran diperhatikan, dan rekan sejawat diperkenankan untuk memberikan saran.
5.   Meminta izin eksplisit untuk mengobservasi dan mencatat kegiatan mitra peneliti, tidak termasuk izin dari siswa apabila penelitian bertujuan meningkatkan pembelajaran.
6.     Meminta izin untuk membuka dan mempelajari catatan resmi, surat menyurat dan dokumen. Membuat fotokopi hanya diperkenankan apabila diizinkan.
7.         Catatan dan deskripsi kegiatan hendaknya relevan, akurat dan adil.
8.    Wawancara, pertemuan, atau tukar pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pandangan lain, relevan, akurat dan adil.
9.     Rujukan langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan atau rekomendasi hendaknya mendapat izin atau otorisasi kutipan.
10.     Laporan disusun untuk kepentingan yang berbeda, seperti laporan verbal pada rapat, tertulis untuk jurnal, suratkabar, orang tua siswa dan lain-lain.
11.     Tanggung jawab untuk hal-hal atau pribadi-pribadi yang sifatnyaa konfidensial.
12.     Semua mitra penelitian mengetahui dan menyetujui prinsip-prinsip kerja di atas, sebelum penelitian berlangsung.
13.     Hal melaporkan kegiatan dan hasil penelitian apabila sudah disetujui oleh para mitra peneliti, dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang terlibat, maka laporan tidak boleh diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan.

E.      KRITIK TERHADAP PTK

Beberapa kritik yang berkaitan dengan eksistensi PTK di sampaikan oleh Semiawan (2007:174-175) sebagai berikut:
1.      PTK harus lebih menjelaskan perbedaan ciri tindakan dari penelitian dan pada gilirannya juga antara pengajaran dan penelitian. Istilah- istilah tersebut tidak boleh dipakai secara berganda. Kalau research atau penelitian menunjuk pada penyelidikan yang sistematis (systematic inquiry) yang ditandai oleh perangkat prinsip, pedoman, dengan prosedur tertentu dan dapat dievaluasi berdasarkan kriteria keabsahan dan keajegan, maka pengajaran mencakup aplikasi keterampilan profesional dan teknis serta pengetahuan tentang situasi tertentu. Penelitian dapat berfungsi mengupayakan pertanyaan tentang mengajar dan belajar, sedangkan tindakan itu sendiri dimaksudkan sebagai upaya perbaikan situasi tertentu.
2.  Refleksi adalah istilah yang banyak diterjemahkan secara kurang cermat sehingga memerlukan kejelasan yang lebih tinggi. Antara deskripsi anekdot dan refleksi sering ada ketidakjelasan perbedaan.
3.      Kerjasama yang bersifat kemitraan merupakan salah satu ingredien PTK pada tingkat mana dan bagaimana kerjasama itu harus dilaksanakan? Hal tersebut sering diinterpretasikan dan dilaksanakan kurang tepat.
4.      Siklus PTK meskipun pada dasarnya sama, namun pada hakikatnya pelaksanaannya sangat situasional menyebabkan perbedaan-perbedaan
sangat besar pada pelaksanaan. Dengan demikian, PTK sulit digenerali- sasikan.

F.      PERBEDAAN PTK DENGAN NON PTK


Tabel 1. Perbedaan Penelitian PTK dan Non PTK

PTK
Non PTK
Dilakukan guru
Dilakukan oleh pihak luar

Fleksibel tehadap subjek penelitian
Ketat terhadap syarat-syarat formal seperti ukuran sampel, populasi harus representatif
Tidak dituntut pengembangan instrumen
Instrumen dikembangkan hingga valid dan reliabel
Tidak menggunakan analisis statistik yang kompleks
Menggunakan analisis statistik yang kompleks
Tidak menggunakan hipotesis penelitian, kecuali hipotesis tindakan
Mensyaratkan hipotesis penelitian
Dapat memperbaiki praktek/proses pembelajaran secara langsung
Tidak langsung memperbaiki praktek/proses pembelajaran
Tidak diarahkan ke generalisasi.
Diarahkan pada generalisasi










SUMBER REFERENSI




Ananda, rusydi,dkk. 2015. Penelitian Tindakan kelas. Bandung. Cita Pustaka Media
Share:

0 comments:

Post a Comment

About

Blogger templates