A. SEJARAH LAHIRNYA PTK
Cikal
bakal lahirnya penelitian tindakan kelas (PTK) dapat ditelusuri dari awal penelitian dalam ilmu pendidikan yang diinspirasi melalui pendekatan ilmiah yang diadvokasi oleh filsuf John Dewey (1910)
dalam bukunya How We Think
dan The Source of a Science of Education (Supardi, 2002:101).
Pendekatan ilmiah yang dianut Dewey
sangat ideal, namun pendekatan demikian tidak mampu menyelesaikan masalah sosial menjadi sebuah inkuiri sosial maupun
kependidikan yang merupakan sebuah upaya kolaboratif dengan munculnya suatu
kebutuhan yang mendesak dalam ilmu pendidikan yang lebih memfokuskan pada
masalah praktik bukan pada teori. Kebutuhan terhadap sebuah upaya kolaboratif
dalam menyibak tabir pendidikan semakin hari dirasakan semakin mendesak.
Perkembangan selanjutnya mengenai PTK
digagas oleh seorang psikolog sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun
1946. Gagasan Lewin dikembangkan
oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot dan Dave
Ebbut dan sebagainya. Lewin mendirikan
lembaga riset The Research Center For
Group Dynamics di Massachusset
Institute of Tecnology. Lewin mengunakan istilah action research dalam
upaya memecahkan persoalan di masyarakat. Dalam risetnya, Lewin menekankan pentingnya kerjasama dalam mengumpulkan
data sosial.
Action
research dikembangkaan Kurt Lewin dengan tujuan untuk
mencari penyelesaian terhadap problem sosial, seperti pengangguran atau kenakalan
remaja yang berkembang di masyarakat. Action research diawali oleh suatu kajian
terhadap suatu problem secara sistematis.
Hasil kajian ini kemudian dikembangkan sebagai
dasar untuk menyusun suatu rencana kerja sebagai upaya untuk mengatasi
masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan dan rencana kerja yang telah disusun, dilakukan suatu observasi dan evaluasi
yang hasilnya digunakan sebagai masukkan untuk melakukan refleksi atas
apa yang terjadi pada saat tahapan pelaksanaan. Hasil dari proses refleksi ini,
melandasi upaya perbaikan dan penyempurnaan rencana tindakan selanjutnya.
Menurut Lewin, action research dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: (1) penelitian komparatif yang membandingkan
kondisi dan pengaruh dari berbagai ragam tindakan sosial, dan (2) penelitian
yang merespon konflik-konflik sosial tertentu dan mengarahkannya pada tindakan sosial. Pengetahuan (teori) tentang tindakan sosial dapat dikembangkan dari hasil
pengamatan terhadap tindakan dalam konteks.
Riset tindakan yang dilakukan Lewin
secara umum menggunakan langkah spiral yang terdiri dari planning, action, observation, reflection dan planning act. Riset tindakan bukan hanya membantu manusia dan
organisasi bersikap terhadap dunia luar,
tetapi juga membantu mengubah dan berefleksi
tentang sistemnya sendiri. Riset tindakan bukan hanya akan mengembangkan suatu organisasi
keluar, tetapi juga
pengembangan ke dalam
(Suparno, 2008:11).
Dekade 50-an Stephen Corey mengembangkan action research dalam dunia pendidikan dengan melibatkan guru, supervisor, orang tua dan administrator
sekolah. Corey menyatakan bahwa metode penelitian
ilmiah kuantitatif kurang memberikan sumbangan nyata pada praktek
pendidikan dan sebagian
besar peneliti kependidikan hanya sampai pada generalisasi tanpa diikuti tindakan dari hasil penelitiannya. Dalam penelitian
tindakan, perubahan-perubahan dalam
praktek pendidikan sangat mungkin terjadi,
sebab pengajar, pengawas dan
tenaga kependidikan lainnya terlibat langsung
dalam penelitian dan mengaplikasikan
temuannya.Selanjutnya Corey, menjelaskan
bahwa manfaat penelitian tindakan dalam
pendidikan terletak pada
aspek peningkatan kualitas praktek kependidikan. Generalisasi yang dihasilkan
dari penelitian tindakan sangat tepat untuk diterapkan pada situasi penelitian
itu sendiri, bukan yang lebih luas.
Tahun 1957, Hodgkinson menyampaikan beberapa kritik terhadap penelitian tindakan. Menurutnya, praktisi pendidikan kurang akrab dengan teknik-teknik dasar penelitian dan penelitian bukan
merupakan pekerjaan amatiran. Guru
tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan penelitian dan waktu yang
mereka gunakan untuk penelitian sering dikacaukan dengan kegiatan pengajaran
yang dilakukannya.
Riset tindakan juga diadopsi dalam
dunia pendidikan pada awal dekade 70-an di Inggris bertepatan dengan munculnya
gerakan “guru sebagai peneliti “teacher-reseachers”
yang dikembangkan Lawrence Stenhouse. Stenhouse membantu guru mengembangkan
peran guru sebagai peneliti. Guru diajak
berefleksi secara kritis dan sistematis tentang praktik mengajar
sehingga dapat membangun teori kurikulum sendiri. Guru harus menjadi ahli dalam
bidangnya lewat penelitian terhadap tindakannya sendiri sebagai upaya melihat
persoalan dan mencari pemecahan tentang persoalan yang ditemui.
Akhir dekade 70-an dan awal dekade 80-an di Amerika Serikat juga muncul keinginan mewujudkan riset tindakan dengan melakukan kolaborasi sehingga dengan demikian mampu
mengembangkan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan. Tahun 1972-1973 John Elliot dan Adelman memimpin sebuah proyek penelitian pembelajaran yang melibatkan sekitar
40 guru sekolah dasar dan sekolah menengah. Dalam penelitian tersebut disusun
hipotesis yang berkaitan dengan upaaya meningkatkan
dan memperbaiki proses pengajaran
guru dan hasilnya digunakan guru.
Dari sinilah muncul istilah guru peneliti, penelitian praktis
dan penelitian tindakan. Sekitar tahun 1980, proyek John Elloit
melakukan kajian yang berfokus pada penelaahan kesenjangan antara mengajar
yang seharusnya dengan
mengajar pada praktik.
Pada tahun 1976, di Universitas Cambridge
didirikan jaringan penelitian
tindakan kelas yang dinamai
dengan classroom action research. Gideonse (1983) dalam Supardi (2002:101)
menjelaskan bahwa perlu dilakukan restorasi terhadap pendekatan penelitian
sehingga penelitian tindakan merupakan suatu investigasi
terkendali terhadap berbagai faset pendidikan dan pembelajaran dengan cara
reflektif dan sistematis. Dukungan kolaboratif semakin meluas sehingga dikenal
dengan suatu penelitian tindakan kelas (classroomaction
research).
Perkembangan PTK semakin meluas dibelahan dunia ini, termasuk di Indonesia mulai dikenal pada akhir dekade 80-an. Di Indonesia, PTK mulai digerakkan pada waktu upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan di mulai dengan renovasi di
tingkat pendidikan guru sekolah dasar, kemudian
meluas ke kalangan guru-guru sekolah menengah.
Saat ini, PTK banyak dilakukan para
tenaga pengajar sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran.
Jenis penelitian ini bermanfaat bagi tenaga pengajar dalam rangka
meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran.
Melalui PTK tenaga pengajar dapat menemukan
solusi dari masalah
yang timbul di kelasnya
sendiri. Di samping itu laporan
PTK dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mendapatkan angka kredit
dalam kepangkatan karirnya sebagai pendidik.
B.
URGENSI PTK
Pendidikan yang berlangsung di
Indonesia mengalami berbagai persoalan yang komplek
terkait dengan berbagai komponen yang melingkupinya.
Penyelesaian persoalan pendidikan tersebut tidak dapat hanya dibebankan kepada pemerintah saja dalam hal ini Kementerian Pendidikan. Dengan kata lain
semua komponen yang terlibat dalam pendidikan, termasuk guru diharapkan
memberikan konstribusi untuk mengatasi masalah dan ikut membantu kemajuan pendidikan.
Guru tidak dapat berpangku tangan dan hanya melihat-lihat saja tanpa melakukan
suatu aksi.
Pembaharuan
dan perubahan
hendaknya dimulai dari pribadi guru itu
sendiri selaku pelaku dan ujung
tombak dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas. Dalam hal ini proses pembelajaran yang dilakukan
di kelas tidak terlepas dari
peran yang dimainkan oleh tenaga pengajar. Oleh karena itu tenaga pengajar menjadi salah
satu komponen penting dari suatu sistem pembelajaran. Untuk itu kualitas tenaga
pengajar sebagai profesional
dalam bidangnya tidak hanya sebatas
penguasaan terhadap metodologi mengajar dan penguasaan bahan
ajar yang dapat diterapkan dalam pembelajaran.
Lebih dari sekedar itu,
tenaga pengajar haruslah memahami keadaan
kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik yang unik dan khas. Salah satu upaya dari berbagai upaya
yang dapat dilakukan untuk
mencapai kualitas tenaga pengajar sebagaimana diharapkan dapat dilakukan melalui kemampuan guru dalam
menguasai teori dan praktik pelaksanaan
PTK.
Urgensi PTK dalam menyahuti kebutuhan guru untuk meningkatkan profesionalitasnya juga
dinyatakan Mega dan Dewi (2009:8-9) sebagai berikut:
1. 1. PTK sangat kondusif untuk membuat
guru menjadi peka terhadap dinamika pembelajaran di
kelasnya. Guru menjadi
reflektif dan kritis terhadap apa yang guru dan siswa lakukan.
2. PTK dapat meningkatkan kinerja
guru sehingga menjadi profesional. Guru
tidak lagi bertindak hanya sebagai seorang praktisi saja yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakannya
selama bertahun- tahun tanpa ada upaya perbaikan
dan inovasi, namun guru juga bertindak sebagai peneliti
di bidangnya.
3.
Dengan
melaksanakan tahapan-tahapan PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam
terhadap apa yang terjadi
dikelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata- mata didasarkan pada masalah
aktual dan faktual
yang berkembang di kelasnya.
4.
Pelaksanaan PTK tidak mengganggu
tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK
merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
5.
Dengan melaksanakan PTK, guru
menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk
melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai
teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.
6.
Penerapan dalam pendidikan dan
pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik
mengajar guru dalam sebuah
pembelajaran serta berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran,
mengembangkan keterampilan guru, meningkatkan relevansi, meningkatkan efisiensi pengelolaan pembelajaran serta
menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.
Berdasarkan uraian di atas terlihat rasionalitas yang menggambarkan urgensi PTK yaitu: Pertama, berhubungan dengan tugas profesional guru. Guru profesional tidak akan merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya. Untuk itu guru profesional akan secara terus menerus menambah dan meningkatkan
kemampuannya sesuai dengan tugas dan tanggung- jawabnya. Kedua, berkaitan dengan otonomi
guru dalam pengelolaan kelas, artinya guru memiliki tanggung jawab penuh untuk
keberhasilan pembelajaran siswa. Dengan kata lain apa yang akan dilakukan guru
dalam kelas bergantung pada guru itu sendiri. Dengan demikian guru memiliki
kesempatan yang luas untuk berinovasi yang dianggapnya bermanfaat dalam
meningkatkan kinerjanya. Ketiga,
berkenaan dengan pemanfaatan
hasil penelitian. Selama ini banyak penelitian yang telah, sedang dan akan dilakukan peneliti, akan tetapi hasilnya sulit diterapkan oleh guru. Hal ini selain masalah yang dikaji bukan
berasal dari kebutuhan
dan masalah yang dihadapi guru.
C. KONDISI YANG DIPERSYARATKAN DALAM PTK
PTK merupakan satu upaya untuk
menumbuhkembangkan pem- baharuan yang dapat
meningkatkan atau memperbaiki
proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Agar PTK dapat dilaksanakan secara tepat, maka berbagai kondisi harus dipenuhi
sebagaimana dijelaskan Hodgkinson (1988) dalam Mega dan Dewi (2009:32) sebagai
berikut:
1.
Kesediaan untuk mengakui
kekurangan diri.
2.
Kesempatan yang memadai untuk menemukan sesuatu
yang baru.
3.
Dorongan untuk mengemukakan
gagasan baru.
4.
Waktu
yang tersedia untuk melakukan percobaan.
5.
Kepercayaan timbal balik antar
orang-orang yang terlibat.
6.
Pengetahuan tentang dasar-dasar
proses kelompok oleh peserta penelitian,
Wardani, dkk (2006:23-24) memaparkan kondisi yang harus dipenuhi agar pelaksanaan
PTK berhasil dengan maksimal adalah:
1. Sekolah harus memberikan kebebasan yang memadai bagi guru untuk melakukan PTK, berkolaborasi dengan teman guru lainnya, dapat secara bebas meminta rekan sejawat menjadi pengamat bagi kelasnya, dan bebas berdiskusi tentang kemajuan kelasnya, di samping dapat menumbuhkan rasa saling mempercayai. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masalah birokrasi dan formalitas
yang ada di sekolah
sering kali tidak
menunjang terjadinya hal tersebut.
2. Sejalan dengan pemikiran di atas,
maka birokrasi dan formalitas organisasi di sekolah hendaknya diminimalkan.
Sebaliknya yang harus ditumbuhkan adalah kolaborasi atas kerjasama yang saling
menguntungkan, serta pengambilan keputusan secara bersama.
3. Sekolah semestinya selalu
mempertanyakan apa yang diinginkan bagi sekolahnya. Jika keinginan tersebut memang merupakan komitmen sekolah, maka
PTK seagai satu bentuk inovasi di
sekolah akan dapat tumbuh subur dan
kegiatan PTK mungkin akan menjadi kegiatan rutin bagi guru.
4.
PTK mempersyaratkan keterbukaan
dari semua staf sekolah untuk membahas
masalah yang dihadapi tanpa
rasa khawatir akan dicemoohkan. Diskusi dengan teman
sejawat tentang masalah yang dihadapi dan kemudian setiap staf menganggap
masalah yang dibahas merupakan masalah bersama, merupakan kondisi yang
dipersyaratkan untuk berkembangnya PTK di sekolah.
5. Sikap
kepala sekolah dan staf administrasi harus menunjang terjadinya pembaharuan.
Sikap negatif yang ditunjukkan meskipun hanya selintas akan merusak iklim
inovasi yaang sedang tumbuh.
6.
Guru
dan siswa harus mempunyai rasa percaya diri yang tinggi
bahwa mereka sedang melakukan satu pembaharuan yang
didukung oleh kepala sekolah dan juga orang
tua.
7.
Guru harus siap menghadapi
berbagai konflik yang baru biasanya mendapat perhatian lebih daripada yang lama
yang sudah diakrabi setiap hari. Hal ini perlu
untuk menghindari munculnya kecemburuan
sosial.
Sani dan Sudiran (2012:8-9) menjelaskan
beberapa syarat harus dipenuhi agar PTK yang dilakukan dapat berhasil. Syarat tersebut adalah:
1. Guru beserta siswa harus mempunyai
tekad dan komitmen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan komitmen itu
terwujud dalam keterlibatan dalam
seluruh kegiatan PTK secara proporsional. Siswa perlu diajak untuk
berpartisipasi mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh guru melalui
kegiatan PTK.
2. Tindakan yang dilakukan hendaknya
berdasarkan pengetahuan, baik pengetahuan konseptual dari tujuan pustaka
teoritis, maupun pengetahuan teknis prosedural yang diperoleh lewat refleksi
kritis dan dipadukan dengan pengalaman orang lain, berdasarkan nilai- nilai
yang diyakini kebenarannya. Refleksi kritis dapat dilakukan dengan baik jika didukung
oleh keterbukaan dan kejujuran terhadap diri sendiri, khususnya kejujuran mengakui kelemahan/kekurangan
diri. Guru harus yakin bahwa situasi dapat diubah ke arah perbaikan dengan melakukan tindakan tersebut.
3.
Pemantauan pembelajaran harus
dilakukan secara sistematik agar guru dapat mengetahui arah dan jenis perbaikan
yang terjadi ber- dasarkan data yang akurat. Analisis dan refleksi yang
mendalam perlu dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap pembelajaran dan pemahaman
tentang bagaimana perbaikan ini telah terjadi.
4.
Guru atau kolaborator perlu
membuat deskripsi otentik objektif (bukan
penjelasan) tentang tindakan yang dilaksanakan. Oleh sebab itu sangat
disarankan untuk membuat rekaman video atau audio pembelajaran atau membuat
catatan tentang proses pembelajaran. Perlu diperhatikan bahwa PTK merupakan penelitian kualitatif sehingga catatan
tentang proses pembelajaran sangat dibutuhkan untuk menjelaskan peningkatan
yang mungkin terjadi.
5.
Guru
perlu memberi penjelasan tentang tindakan berdasarkan deskripsi autentik yang
telah dikumpulkan yang mencakup identifikasi makna-makna
yang mungkin diperoleh dengan dukungan teori yang
relevan serta keterkaitannya dengan penelitian lain, dan
konstruksi model/teori beserta
penjelasannya dalam konteks praktek terkait. Guru juga perlu mempermasalahkan
deskripsi terkait, yaitu secara kritis
mempertanyakan motif tindakan dan
evaluasi terhadap
hasilnya.
D.
ETIKA PENELITI PTK
Dalam melakukan penelitian secara umum
maupun secara khusus melakukan PTK mempunyai nilai-nilai etika yang perlu
diperhatikan baik sebelum melaksanakan penelitian, selama penelitian maupun
sesudah penelitian dan membuat laporan penelitian PTK. Dalam hal
ini
Suparno (2008:92) menformulasikan dua nilai etika yang penting yang bagi
peneliti PTK yaitu:
1. InformedConsent.
Informedconsent adalah izin tertulis dari subjek yang akan diteliti atau tempat yang
akan digunakan sebagai lokasi penelitian. Sebelum peneliti mendapatkan izin,
maka peneliti tidak boleh melakukan penelitian atau
mulai mengambil data. Oleh karena itu, peneliti perlu minta izin atau persetujuan kepada
sampelyang mau diteliti. Sebelum melakukan penelitian, peneliti harus mempunyai
izin dari subjek yang menyatakan
bahwa ia memang mau dan dengan bebas bersedia digunakan sebagai subjek PTK.
Izin ini untuk menghargai subjek, bahwa mereka bebas menerima menjadisubjek
PTK. Kebebasan itu ditandai dengan mereka tahu apa yang akan dilakukan dan
kemungkinan bahaya yang
ada. Hal ini untuk menghindari
paksaan karena orang tidak tahu apa yang terjadi. Sebab, kalau subjek keberatan
maka dia berhak mengundurkan diri di tengah
jalan.
Izin harus
memuat apa yang akan dilakukan terhadap subjek, misalnya diwawancarai, mengisi angket, dipantau,
direkam dan lain-lain. Juga perlu diinformasikan kapan penelitian akan
dilakukan dan di mana. Unsur konfidensialitasnya diungkap yaitu bahwa
penelitian ini tidak akan mencantumkan nama
dan hanya ditulis anonim serta hanya
untuk kepentingan penelitian. Peneliti
juga tidak membuka rahasia dan segala
apa yang diungkapkan subjek dalam penelitian kepada pihak lain.
Bagi guru yang melakukan PTK di
kelasnya dan meneliti siswanya sendiri, adakalanya tidak memerlukan izin tertulis
dari siswa cukup izin dari kepala
sekolah saja. Namun demikian agar semuanya terbuka dan jelas, tetap perlu
memberitahukan kegiatannya terhadap siswa.
2.
Kejujuran penelitian.
Etika yang terpenting bagi peneliti
adalah etika kejujuran dalam melakukan penelitian. Kejujuran diwujudkan dalam
bentuk:
a. Jujur pada subjek. Kadang sebagian peneliti tidak mengungkapkan ada yang akan dilakukan pada subjek, alasanya supaya tidak terjadi penolakan dari subjek. Peneliti
menutupi apa yang mau dilakukan, agar
mendapatkan data yang baik. Hal ini secara etik tidak diperbolehkan. PTK di sekolah seharusnya jujur, tidak ada tipuan,
karena semua itu adalah untuk kemajuan kelas,
sekolah dan siswa. Bahkan siswa atau sekolah perlu dilibatkan dan tahu sebanyak mungkin.
b.
Jujur
dengan data. Semua data ditulis apa adanya dan juga digunakan seperti adanya. Peneliti tidak boleh mengubah data yang
telah di- kumpulkan hanya demi kecocokan hasil. Justru dengan data yang jujur
itulah pengetahuan akan kuat dan barangkali justru
ditemukan persoalan yang sesungguhnya ada dan dapat dicarikan pemecahan
yang tepat.
c.
Peneliti
perlu dengan cermat mencatat
data setiap saat, secara akurat dan tidak memanipulasi data.
d.
Tidak menipu subjek dalam menyetujui
informed consent, maupun dalam
mengorek data dari subjek.
e.
Jujur dalam analisis, membuat
laporan, ataupun dalam referensi.
f. Menjaga
konfidensialitas, bila memang semua data tidak akan disampaikan kepada pihak
lain maka peneliti
harus memegang janji
tersebut.
Kunandar (2008:76) mencatat etika yang perlu menjadi
perhatian seorang peneliti (guru) dalam melakukan PTK yaitu:
1.
Meminta
kepada orang-orang, panitia atau yang berwenang persetujuan dan izin.
2.
Ajaklah
kawan-kawan sejawat terlibat dan berpartisipasi dalam PTK.
3.
Terhadap
teman sejawat yang tidak terlibat, perhatikan juga pendapat mereka.
4.
Penelitian
berlangsung terbuka dan transparan, saran-saran diperhatikan dan kawan
sejawat diperbolehkan mengajukan protes.
5.
Catatan dan deskripsi kegiatan hendaknya relevan, akurat dan adil.
6.
Wawancara, pertemuan atau tukar
pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pandangan lain, relevan, akurat dan adil.
7.
Rujukan
langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan, atau rekomendasi hendaknya
mendapat izin atau otoritas kutipan.
8. Laporan disusun untuk kepentingan
yang berbeda, seperti lembaga peneliti bekerja, untuk jurnal, media massa,
orang tua murid dan pihak-pihak lain yang terkait.
9. Semua mitra penelitian mengetahui
dan menyetujui prinsip-prinsip kerja sebelum PTK berlangsung.
10. Hak melaporkan kegiatan dan hasil penelitian, apabila sudah
disetujui oleh para mitra peneliti dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang
terlibat, maka laporan
tidak boleh diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan.
Kemmis dan
Taggart sebagaimana dikutip Hopkins (1993:221-
222) menjelaskan pedoman etika
yang harus ditaati oleh peneliti sebelum, selama dan
sesudah penelitian PTK dilakukan sebagai berikut:
1.
Meminta
kepada lembaga, panitia atau
yang berwenang memberikan persetujuan dan izin penelitian.
2.
Ajaklah rekan sejawat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam penelitian.
3.
Terhadap pihak yang tidak terlibat langsung, perhatikan juga pendapatnya.
4.
Penelitian
berlangsung terbuka dan transparan, saran-saran
diperhatikan, dan rekan
sejawat diperkenankan untuk
memberikan saran.
5. Meminta izin eksplisit untuk mengobservasi dan mencatat kegiatan mitra peneliti, tidak termasuk
izin dari siswa apabila penelitian bertujuan meningkatkan pembelajaran.
6. Meminta izin untuk membuka dan
mempelajari catatan resmi, surat menyurat dan dokumen.
Membuat fotokopi hanya diperkenankan apabila diizinkan.
7.
Catatan dan deskripsi kegiatan
hendaknya relevan, akurat dan adil.
8. Wawancara, pertemuan, atau tukar
pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pandangan lain, relevan, akurat dan adil.
9. Rujukan
langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan atau rekomendasi hendaknya mendapat
izin atau otorisasi
kutipan.
10.
Laporan disusun untuk kepentingan
yang berbeda, seperti laporan verbal pada rapat, tertulis
untuk jurnal, suratkabar, orang tua siswa dan lain-lain.
11.
Tanggung
jawab untuk hal-hal atau pribadi-pribadi yang sifatnyaa
konfidensial.
12.
Semua mitra penelitian mengetahui dan menyetujui prinsip-prinsip kerja di atas, sebelum
penelitian berlangsung.
13.
Hal melaporkan kegiatan dan hasil penelitian apabila sudah disetujui oleh para
mitra peneliti, dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang terlibat, maka laporan tidak boleh diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan.
E.
KRITIK TERHADAP PTK
Beberapa
kritik yang berkaitan dengan eksistensi PTK di sampaikan oleh Semiawan (2007:174-175)
sebagai berikut:
1.
PTK harus lebih menjelaskan perbedaan ciri tindakan
dari penelitian dan pada
gilirannya juga antara pengajaran dan penelitian. Istilah- istilah tersebut
tidak boleh dipakai secara berganda. Kalau research
atau penelitian menunjuk pada penyelidikan yang sistematis (systematic inquiry) yang ditandai oleh perangkat
prinsip, pedoman, dengan prosedur tertentu dan dapat
dievaluasi berdasarkan kriteria
keabsahan dan keajegan, maka pengajaran mencakup aplikasi keterampilan
profesional dan teknis serta pengetahuan tentang situasi tertentu. Penelitian dapat berfungsi mengupayakan
pertanyaan tentang mengajar dan belajar, sedangkan tindakan itu sendiri dimaksudkan sebagai upaya
perbaikan situasi tertentu.
2. Refleksi adalah istilah yang
banyak diterjemahkan secara kurang cermat sehingga memerlukan kejelasan yang
lebih tinggi. Antara deskripsi anekdot dan refleksi sering
ada ketidakjelasan perbedaan.
3.
Kerjasama yang bersifat kemitraan
merupakan salah satu ingredien PTK pada tingkat mana dan bagaimana kerjasama itu harus dilaksanakan?
Hal tersebut sering
diinterpretasikan dan dilaksanakan
kurang tepat.
4.
Siklus PTK meskipun pada dasarnya
sama, namun pada hakikatnya pelaksanaannya sangat situasional
menyebabkan perbedaan-perbedaan
sangat besar pada pelaksanaan. Dengan demikian, PTK sulit digenerali- sasikan.
F. PERBEDAAN PTK DENGAN NON PTK
Tabel 1. Perbedaan Penelitian PTK dan Non PTK
PTK
|
Non PTK
|
Dilakukan guru
|
Dilakukan oleh pihak luar
|
Fleksibel tehadap subjek penelitian
|
Ketat terhadap syarat-syarat formal seperti
ukuran sampel, populasi harus representatif
|
Tidak dituntut pengembangan instrumen
|
Instrumen dikembangkan hingga valid dan
reliabel
|
Tidak menggunakan analisis statistik yang
kompleks
|
Menggunakan analisis statistik yang kompleks
|
Tidak menggunakan hipotesis penelitian,
kecuali hipotesis tindakan
|
Mensyaratkan hipotesis penelitian
|
Dapat memperbaiki praktek/proses pembelajaran
secara langsung
|
Tidak langsung memperbaiki praktek/proses
pembelajaran
|
Tidak diarahkan ke generalisasi.
|
Diarahkan pada generalisasi
|
SUMBER REFERENSI
Ananda, rusydi,dkk. 2015. Penelitian Tindakan kelas. Bandung. Cita Pustaka Media