PERSPEKTIF DESENTRALISASI PENDIDIKAN
DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMERINTAHAN DAERAH
Bicara masalah desentralisasi pemerintahan daerah (yang lebih dikenal
dengan otonomi daerah), termasuk desentralisasi pendidikan, menarik untuk selalu
diwacanakan dan dikaji. Satu pertanyaan mendasar yang sepertinya mudah diucapkan
tapi sulit dilaksanakan adalah: sudah siapkah kita dengan desentralisasi?
Jawabannya adalah bukan pada sekedar berani mengucapkan siap atau belum
siapnya kita melaksanakan desentralisasi, tetapi terpulang terutama pada kesiapan
sumberdaya manusia (man), baik sebagai objek (sasaran) maupun subjek (pelaku).
Untuk terselenggaranya desentralisasi diperlukan mental mandiri dan mind set yang
1
positif terhadap perubahan, kompetisi, dan optimisme terhadap masa depan dalam mencapai kesejahteraan. Bangsa Indonesia memang patut berbahagia karena merupakan bangsa besar dengan sumberdaya manusia yang besar juga, dengan tantangannya adalah kualitas.
Desentralisasi merupakan keniscayaan, dengan adanya perubahan dalam pendekatan top down development (sentralisasi) dan mengganti dengan bottom-up development (desentralisasi). Perubahan pendekatan tersebut dijabarkan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, dan direvisi kembali dengan Perpu Nomor 3 Tahun 2005, dan akhirnya ditetapkan menjadi UU Nomor 8 Tahun 2005), dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Desentralisasi yang melahirkan otonomi yang luas bagi daerah dalam perspektif pembangunan merupakan suatu dependency, yang mana suatu daerah mempunyai ketergantungan dengan daerah yang lebih maju. Namun hubungan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu merugikan daerah yang masih terbelakang karena mengalirnya akumulasi modal ke pusat (growth pole), sehingga untuk melepaskan diri dari pengaruh daerah maju, maka daerah harus berupaya membangun dirinya sendiri. Persaingan antarpropinsi, antardaerah, antarkota, dan antardesa dapat mempercepat pembangunan dengan kebijakan dan program yang lebih efektif, dengan menciptakan sistem sosial yang akomodatif dan kondusif bagi semua pihak.
Kalau menilik dampak pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia, maka terlihat bahwa trickling-down effects (efek pembangunan yang mengalir dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar) yang diharapkan dari adanya growth pole, seperti Jakarta, yang diharapkan mengalir ke bawah ke daerah sekitar, seperti Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi (Botadebek) belum berjalan atau dengan kata lain tertunda. Bahkan yang terjadi sebaliknya, yaitu mengalirnya akumulasi modal daerah yang tersedot ke Jakarta, dan daerah menjadi penyangga bagi kota Jakarta.
Dengan kata lain bahwa implikasi diberlakukannya desentralisasi adalah menguatnya tuntutan kemandirian bagi daerah untuk menjalankan pembangunan dalam beragam aspek. Substansi dari desentralisasi adalah munculnya sikap demokratis, percaya pada Pemerintah Daerah, mengurangi beban pengelolaan pembangunan dari Pemerintah Pusat, dan secara tidak langsung mendorong keaktifan DPRD setempat (Bhenyamin Hoessein,1996,1).
Desentralisasi memberikan keleluasaan bagi Kepala Daerah dalam pembuatan kebijakan untuk mengatur dan mengelola daerahnya. Hal ini sejalan dengan hakekat desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kewenangan Pemerintah Pusat tercakup dalam bidang hankam, moneter, politik luar negeri, peradilan serta bidang pemerintahan yang bercirikan kepentingan nasional. Asas medebewind (asas pembantuan) hanya dianut oleh Pemerintah Pusat terhadap kabupaten/kota. Implementasinya dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Dinas Kota. Sedangkan dekonsentrasi hanya terjadi dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur.
Implementasinya dilakukan oleh Dinas Propinsi.
Manajemen pola baru pemerintahan tersebut merupakan konsekuensi diberlakukannya desentralisasi. Dengan model partisipasi masyarakat (stakeholder) yang luas dan terlibat kontrol terhadap jalannya pemerintahan, maka ketika Pemerintah Daerah diminta pertanggungjawaban (akuntabilitas) atas kewajibannya, maka seharusnya mereka sadar bahwa pekerjaan yang mereka lakukan (pelayanan publik) tergantung pada penilaian masyarakat atas kinerja mereka. Dalam hal ini desentralisasi memberikan pola baru tentang keterlibatan masyarakat lokal (daerah), sehingga pengambilan keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Derah menjadi lebih realistis.
Pemerintahan yang baik (good governance) sudah menjadi suatu keniscayaan dalam desentralisasi pemerintahan daerah, yang menggambarkan adanya partisipasi masyarakat (stakeholders), penegakan hukum secara adil, transparan, responsif, pemerataan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, serta visi dan misi stratejik dari Pemerintah Daerah.
Dalam konteks pelayanan publik di era desentralisasi, maka sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang kompetitif dan berkualitas kepada masyarakat. Hal ini akan menunjukkan tolok ukur bagi kredibilitas dan kapasitas politik pemerintah. Tiga pilar yang utama dalam mewujudkan good governance adalah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance), bagaimana mewujudkan pengelolaan dunia usaha yang baik (good corporate governance), dan bagaimana meningkatkan peranserta masyarakat yang semakin baik (good society governance).
Pada hakekatnya, peran dari eksistensi dinas-dinas pemerintah senantiasa dikaitkan dengan penyelenggaraan fungsi pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan salah satu tanggung jawab politik penting yang harus diemban oleh pemerintah (Solichin Abdul Wahab,1998:3).
Desentralisasi Pendidikan dalam Perspektif Desentralisasi Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan satuan/lembaga pendidikan di Indonesia sebelum diberlakukannya desentralisasi pemerintahan daerah lebih bersifat sentralistik. Pemerintah memiliki perangkat dari tingkat pusat sampai daerah sebagai penerapan asas dekonsentrasi. Perangkat di pusat yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), di Propinsi disebut Kantor Wilayah (Kanwil) Depdikbud, di Kabupaten/Kotamadya disebut Kantor Depdikbud Kabupaten/Kotamadya (Kandep kabupaten/kotamadya), dan di tingkat kecamatan disebut Kantor Depdikbud Kecamatan (Kandepcam). Instansi pengelola pendidikan pusat ini mempunyai wewenang mengatur penyelenggaraan pendidikan menengah (SLTP dan SLTA) dan pendidikan tinggi (PT), serta sebagian urusan (akademik) pendidikan dasar (SD).
Selain instansi pengelola pendidikan pusat tersebut, terdapat pula instansi pengelola pendidikan yang menjadi perangkat Pemerintah Daerah, yakni pada tingkat propinsi disebut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, di tingkat kabupaten/kotamadya disebut Cabang Dinas, dan di kecamatan disebut Ranting Dinas. Instansi pengelola pendidikan Pemerintah Daerah tersebut hanya berwenang mengurus penyelenggaraan pendidikan dasar (SD), terutama dari segi personil, pembiayaan dan sarana prasarananya.
Sejalan dengan diberlakukannya desentralisasi pemerintahan daerah, sistem pendidikan dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang demokratis, memperhatikan keberagaman, dan mendorong partisipasi masyarakat. Sebagian besar kewenangan untuk mengurus penyelenggaraan pendidikan diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Tugas Pemerintah Pusat lebih banyak pada pengembangan dan penetapan berbagai standar yang dapat menjamin pemerataan kualitas pendidikan secara nasional.
UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 11 ayat 2 mengisyaratkan bahwa pendidikan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan Pemerintah Daerah. Kemudian PP Nomor 25 tahun 2000 pasal 2 dan 3 juga mengisyaratkan tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Propinsi dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dalam konteks desentralisasi pemerintahan daerah ini, maka desentralisasi pendidikan mengisyaratkan bahwa Pemerintah Pusat berfungsi sebagai pengarah, pembina dan penentu kebijakan nasional bidang pendidikan melalui Departemen Pendidikan Nasional (dalam hal ini perguruan tinggi tetap di bawah kewenangan Depdiknas), sedangkan Pemerintah Propinsi sebagai pembina dan koordinator penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota melalui Kantor
Pengelola Pendidikan. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab
penuh di dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA) sesuai dengan arah kebijakan, standar nasional dan kebutuhan lokal. Nama instansi pengelola pendiidkan tidak selalu sama, sesuai Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT) atau Organisasi dan Tatakerja (OTK) Pemerintah Daerah setempat.
Dengan pemberlakuan desentralisasi pemerintahan daerah tersebut, maka sebutan instansi pengelola pendidikan di setiap daerah tidak selalu sama, tergantung pada SOT/OTK yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD setempat, seperti ada yang memberi nama struktur organisasi Dinas Pendidikan Nasional Daerah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan, serta Dinas Pendidikan dan Pengajaran.
Dalam konteks desentralisasi pemerintahan daerah, maka desentralisasi pendidikan mengandung makna mendekatkan pengambilan keputusan pada partisipasi stakeholders; pembangunan pendidikan lebih sesuai dengan kekhasan daerah; dan potensi masyarakat dapat lebih didayagunakan yang pada akhirnya bermuara pada mutu dan keunggulan sumberdaya manusia (SDM). Desentralisasi pendidikan mengacu pada konsep:
1. Desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan, dengan terwujudnya pemerintahan daerah yang otonom dalam pengelolaan pendidikan
2. Desentralisasi pada satuan pendidikan, dengan terwujudnya lembaga atau satuan pendidikan yang mandiri dan professional
3. Desentralisasi pada stakeholders pendidikan, dengan terwujudnya masyarakat yang demokratis dan lembaga yang peduli pendidikan secara mandiri dan profesional.
Makna desentralisasi pendidikan tersebut menuju pengelolaan pendidikan yang efisien, demokratis dan berkeadilan. Untuk mencapai mutu tersebut, sesuai UU nomor 20 tahun 2003 pasal 35, ditetapkan standar nasional yang mencakup standar pelayanan minimal (SPM) dalam desentralisasi pendidikan:
1. Standar pengelolaan
2. Standar tenaga pendidikan
3. Standar isi, proses, penilaian
4. Standar pembiayaan
5. Standar sarana prasarana pendidikan
6. Partisipasi masyarakat melalui mekanisme.
Standar nasional tersebut akan mengarah pada standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi nasional (SKN) yang akhirnya bermuara pada mutu sumberdaya manusia (SDM).
Kemandirian sebagai tuntutan desentralisasi pendidikan pada daerah kabupaten/kota lebih menekankan pada kemandirian dalam mengelola dan memberdayakan berbagai sumberdaya yang dimiliki untuk mengimplementasikan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Propinsi. Melihat sumberdaya yang tersedia di daerah, maka setiap daerah berbeda-beda dalam menangani urusan pendidikan. Perbedaan ini terlihat dalam mengorganisasikan instansi pengelola pendidikan, sedangkan untuk pengorganisasian lembaga penyelenggara pendidikan tetap menganut ketentuan nasional tentang jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam UU nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) dinyatakan adanya perintisan pembentukan Dewan sekolah (school board) di setiap kabupaten/kota, dan pembentukan Komite Sekolah di setiap sekolah.
Selanjutnya berkenaan dengan pengelolaan pendidikan, dikeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 044 tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dewan Pendidikan adalah badan yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota. Dewan Pendidikan berperan sebagai:
1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
2. Pendukung (supporting agency) baik berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan DPRD dengan masyarakat.
Sedangkan Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Komite Sekolah berperan sebagai:
1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan
2. Pendukung (supporting agency) baik berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan
4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan DPRD dengan masyarakat di satuan pendidikan
Permasalahan dalam Desentralisasi Pendidikan
Beragam permasalahan muncul dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan:
sejalan dengan desentralisasi pemerintahan daerah adalah:
1. Pendelegasian wewenang dari pemerintah ke kabupaten/kota cenderung menonjolkan pendekatan aspek kekuasaan daripada aspek pelayanan. Penyerahan hampir semua kewenangan operasional bidang pendidikan (UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 11) berpotensi menjadikan pemerintah kabupaten/kota menjadi penguasa tanpa batas jika tidak diimbangi pengembangan institusi dan SDM daerah melalui capacity building (pembentukan karakter), dan dalam melaksanakan fungsi pelayanan daerah tidak melengkapi dengan standar pelayanan minimum yang memadai sebagai sarana kontrol.
2. Penyerahan kewenangan pendidikan ke daerah kabupaten/kota dengan kekuatan dan potensi masing-masing yang sangat beragam berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa antardaerah. Keberagaman ini cenderung akan menjadi faktor negatif terhadap persatuan bangsa, jika tidak diimbangi dengan pendidikan karakter bangsa yang dibakukan secara nasional (melalui PKn, Sejarah nasional, Pendidikan Agama) yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.
3. Kewenangan kabupaten/kota yang sangat besar dan kewenangan propinsi yang sangat terbatas cenderung akan menimbulkan ketimpangan antar kabupaten/kota dalam pelayanan masyarakat bidang pendidikan. Kewenangan propinsi yang dibatasi cenderung mengakibatkan pelayanan lintas kabupaten/kota semakin terabaikan terutama pelayanan pendidikan yang fasilitasnya terbatas dan tidak dimiliki setiap kabupaten/kota.
4. Salah satu tujuan desentralisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan pendidikan, dengan menempatkan fungsi pelayanan pada para pengelola pendidikan yang paling dekat dengan masyarakat. Beberapa pelayanan pendidikan, khususnya pendidikan massal mungkin lebih efisien dilakukan kabupaten/kota, sebaliknya pelayanan pendidikan luar biasa atau pendidikan menengah umum berorientasi mutu, lebih efisien jika pelayanan pendidikan dilakukan propinsi.
4. Salah satu tujuan desentralisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan pendidikan, dengan menempatkan fungsi pelayanan pada para pengelola pendidikan yang paling dekat dengan masyarakat. Beberapa pelayanan pendidikan, khususnya pendidikan massal mungkin lebih efisien dilakukan kabupaten/kota, sebaliknya pelayanan pendidikan luar biasa atau pendidikan menengah umum berorientasi mutu, lebih efisien jika pelayanan pendidikan dilakukan propinsi.
5. Kewenangan wajib harus diartikan sebagai tanggung jawab pelayanan publik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan wajib bukan merupakan pembagian kewenangan dalam bentuk kekuasaan, tetapi pembagian tugas dan tanggung jawab pelayanan kepada publik. Kewenangan harus bersifat dinamis, sewaktu-waktu dapat dipindahkan, ditarik kembali ke pusat, atau diswastakan, tergantung hasil evaluasi efektivitasnya.
6. Istilah kewenangan wajib mengandung resiko penyalahgunaan kekuasaan, sehingga fungsi pelayanan terabaikan. Oleh karenanya konsep kewenangan wajib sebagai tanggungjawab dalam pelayanan publik lebih tepat disebut pelayanan wajib (Depdiknas, 2003).
Berbagai permasalahan di atas memunculkan pula beragam kesenjangan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan:
1. Kesenjangan antara pemerintah kabupaten/kota dengan sekolah (lembaga pendidikan). Pelaksanaan UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah telah memberikan kewenangan urusan penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah kabupaten/kota; sementara sesuai konsep manajemen berbasis sekolah (MBS), desentralisasi pendidikan seharusnya tidak berhenti di kabupaten/kota, tetapi juga memberikan kewenangan dalam bidang-bidang tertentu kepada sekolah.
2. Kesenjangan antardaerah yang kaya sumberdaya manusia dengan daerah yang minim sumberdaya manusia. Pelaksanaan desentralisasi menampakkan kategori daerah:
a. daerah yang kaya sumberdaya manusia dengan sumberdaya alam memadai
b. daerah kaya sumberdaya alam tapi miskin sumberdaya manusia
c. daerah kaya sumberdaya manusia tapi miskin sumberdaya alam
d. daerah miskin sumberdaya manusia dan miskin sumberdaya alam (Depdiknas, 2003).
Implikasi dari pengkategorian daerah tersebut adalah sebagai berikut:
a. daerah yang kaya sumberdaya manusia dengan sumberdaya alam memadai, maka daerah seperti ini dapat berjalan sendiri tanpa subsidi dari Pemerintah Pusat
b. daerah kaya sumberdaya alam tapi miskin sumberdaya manusia, maka daerah seperti ini perlu fasilitasi dan asistensi
c. daerah kaya sumberdaya manusia tapi miskin sumberdaya alam, maka daerah seperti ini perlu menjual sumberdaya manusia nya kepada daerah lain
d. daerah miskin sumberdaya manusia dan miskin sumberdaya alam, maka daerah seperti ini perlu subsidi silang daerah lain
Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan: Memberdayakan Sumberdaya Lokal
Keberhasilan proses pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang sejalan dengan desentralisasi pemerintahan daerah dapat dilihat dari berbagai faktor prasyarat yang mempengaruhi:
1. Menerapkan deregulasi, yaitu proses pemangkasan jalur birokrasi yang terlalu ketat dan panjang, yang berarti menghilangkan meja-meja birokrasi yang terlalu banyak. Birokrasi bukan untuk mempersulit dan memperlambat proses, melainkan memperlancar proses layanan pendidikan yang diperlukan masyarakat,
dan untuk membuat desentralisasi pendidikan di daerah dan sekolah (lembaga pendidikan) dapat berjalan efektif.
2. Menerapkan semi-otonomi atau melaksanakan desentralisasi secara gradual dan berkesinambungan, dengan mempertimbangkan kesiapan daerah atau sekolah (dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) dengan memberikan kewenangan terbatas.
3. Melaksanakan kepemimpinan demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Kewenangan kepala sekolah dan komite sekolah harus dapat menampung aspirasi stakeholders pendidikan dengan berkerjasama sesuai peran, fungsi dan tugasnya.
4. Menerapkan profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Profesionalitas tercermin dalam kinerja yang produktif, melaksanakan tugas dan fungsi sesuai bidang keahlian dengan prinsip the right man in the right place. Transparansi merupakan salah satu kunci terciptanya kepercayaan publik, sehingga hasil pelaksanaan tugas organsasi harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel kepada publik. Tanpa profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas proses desentralisasi pendidikan akan berjalan tanpa nuansa demokrasi (Depdiknas, 2003).
Sudah semestinya bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan harus sejalan dengan desentralisasi pemerintahan daerah, dengan memberdayakan sumberdaya lokal dengan kearifan lokal. Daya saing masyarakat ditumbuhkembangkan dengan menciptakan sistem sosial yang akomodatif dan kondusif bagi pemberdayaan sumberdaya manusia di daerah. Karena bagaimanapun juga, tujuan utama desentralisasi tidak lain untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, sehingga segala kebijakan daerah harus disusun dengan melibatkan partisipasi publik (stakeholders). Apalagi UU Nomor 32 tahun 2004 yang baru tentang pemerintahan daerah mengatakan bahwa tujuan pemberian otonomi yang luas kepada daerah
adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peranserta masyarakat.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan tersebut sejalan dengan kewenangan kabupaten/kota dalam bidang kepegawaian: melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan seusai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang diterapkan dengan peraturan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan (pasal 76 UU nomor 22 tahun 1999).
Kewenangan daerah dalam bidang kepegawaian menunjukkan bahwa daerah diberi kewenangan untuk mengurusi masalah kepegawaian daerah. Tentunya ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi sumberdaya lokal. Terbukanya kran daerah (dan lembaga pendidikan) melakukan jalinan kerja sama dalam memberdayakan sumberdaya lokal (termasuk formasi kepegawaian) harus disikapi dengan kearifan dan menghilangkan euphoria etnis, serta menghilangkan sumber-sumber kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) baru di daerah.
Sumber Referensi :
0 comments:
Post a Comment