Kepemimpinan di Sekolah dalam Menghadapi
Paradigma Baru
Pendidikan di Indonesia
A. Pendahuluan
Salah satu kondisi nyata yang
muncul sebagai dampak dari reformasi di Indonesia adalah terimplementasikannya
demokratisasi dan desentralisasi (otonomi daerah). Pemerintah maulai dari
pemerintah pusat sampai daerah memiliki komitmen yang kuat untuk
mengimpelementasikan kedua agenda reformasi tersebut disegala segi kehidupan,
baik itu ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan dan tidak lupa bidang
pendidikan.
Suatu masyarakat yang demokratis
tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan menumbuhkan individu dan
masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang tertutp, yang sentralistik, yang
mematikan inisiatif berfikir manusia bukanlah merupakan pendidikan yang kita
inginkan (Tilaar, 2000). Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru
harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan
global. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa
Indonesi yang bersatu serta demokratis. Oleh karena itu, penyelenggaraan
pendidikan yang sentralistik baik di dalam manajemen maupun di dalam penyusunan
kurikulum harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang
demokratis, demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif
dan inovatis, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan
untuk berkompetisi di dalam kerjasama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin
selalu meningkatkan kualitas (Tilaar, 2000).
Satuan pendidikan berbasis pada
keunggulan lokal adalah merupakan paradigma baru dalam pendidikan di Indoensia,
hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong terjadinya percepatan
pembangunan di daerah disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh masyarakat
sekitar. Sistem pendidikan berbasis pada keunggulan lokal ini merupakan modal
dasar dan prasyarat utama agar sumber daya yang dihasilkan oleh lembaga
pendidikan memiliki arah pengembangan diri yang terarah dan terukur sesuai
dengan kebutuhan pembangunan di daerahnya. Pengembangan satuan pendidikan
berbasisi pada potensi lokal, tidak saja berkaitan dengan kurikulum yang lebih
memperhatikan muatan lokal saja, melainkan harus dapat memperjelas spesialisasi
keahlian yang harus dimiliki oleh peserta didik dari masing-masing tingkatan pendidikan, dimana tujuannya adalah setelah lulus dapat segera memasuki dunia kerja lingkungan terdekatnya.
Pendidikan berbasis potensi lokal
memungkinkan institusi pendidikan menghasilkan orang-orang yang kompeten dalam
bidang-bidang yang dibutuhkan untuk pembangunan daerah. Dengan kondisi seperti
ini diharapkan kebutuhan akan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan juga
memahami potensi daerah akan dengan mudah dapat teratasi dan bahkan dapat
tersedia secara otomatis. Agar kondisi ini dapat terselenggara dengan baik,
maka peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat penting untuk
memfasilitasi setiap satuan pendidikan agar lebih berkualitas.
Dalam menghadapi tantangan global
yang sedang melanda dunia sekarang ini, penyesuaian dalam dunia pendidikan
tentunya perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius dari pemerintah.
Pengembangan sekolah bertaraf internasional dalam setiap jenjang pendidikan
oleh pemerintah pusat maupun daerah perlu mendapatkan dukungan dari setiap
lapisan masyarakat, terutama pada tataran implementasi jika masyarakat diminta
untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaannya. Pembentukan badan hukum
pendidikan untuk setiap penyelenggaraan pendidikan formal baik itu yang
didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat harus berfungsi memberikan
pelayanan kepada peserta didik yang berprinsi nirlaba dan dapat mengelola dana
pendidikan secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
Perubahan paradigma pendidikan
yang terjadi saat ini adalah merupakan akibat dari terjadinya perubahan sosial
sebagaimana sifatnya yang abadi, akan selalu terjadi dan pasti terjadi.
Perubahan itu akan memberikan pengaruh yang kuta terhadap iklim organisasi,
gaya kepemimpinan dan hakikat kehidupan organisasi (Benis, 1966 dalam Aan dan
Cepi, 2004). Salah satu perubahan yang mendasar dalam organisasi pendidikan
adalah sistem manajemen sentralistis yang berubah menjadi sistem manajemen
desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Hal ini menuntut perubahan berbagai komponen dalam organisasi dan juga
gaya kepemimpinan. Artinya, dalam situasi yang tidak menentu, penuh dengan
perubahan dan ketidakpastian diperlukan keahlian manajerial yang baik,
sekaligus dapat mengembangkan keahliannya dalam bidang kepemimpinan (Aan dan
Cepi, 2004).
B.
Pembahasan
1. Pemimpin dan Kepemimpinan di Sekolah
Kepemimpinan adalah proses dua
pihak, dua arah artinya, satu pihak harus mengetahui cara memimpin, dan pihak
lain harus mengetahui cara mengikuti. Tetapi dalam pelaksanaannya, tidak ada
hal-hal seperti pemimpin “murni” dan pengikut “murni”. Setiap pihak adalah
pemimpin dan pengikut pada waktu bersamaan, dan kedua belah pihak memikul
tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan (Timpe, 2002).
Menurut sejarahnya, istilah
kepemimpinan (leadership) baru muncul sekitar tahun 1800, definisi leadership bermacam-macam
sesuai dengan selera pembuat definisi itu sendiri, dari mana mereka memandang.
Meskipun demikian, masih dapat ditarik suatu garis yang sama dari
definisi-definisi yang dibuat. Berbagai sudut pandang para pembuat definisi
kepemimpinan itu adalah sebagai berikut: 1) titik tumpu proses kelompok, 2)
kepribadian dan pengaruh, 3) seni dalam melaksanakan pekerjaan, 4) tindakan
mempengaruhi orang lain, 5) perbuatan atau sikap seseorang, 6) bentuk persuasi
dalam menggerakkan orang,
7)
alat pencapaian tujuan, 8)
pengaruh daripada interaksi, 9) peranan yang menonjol, 10) proses dari peranan
yang orisinil (Martoyo, 1996). Dari penjelasan di atas, Martoyo mendefinisikan
kepemimpinan sebagai berikut: ”keseluruhan aktivitas dalam rangka mempengaruhi
orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang memang diinginkan
bersama”.
Pengertian lain dari kepemimpinan
atau “leadership” dapat
diartikan sebagai berikut: “leadership is a process of motivating others to
work to meet specific
objectives” (Ebert & Griffin, 2003).
Kepemimpinan adalah proses memotivasi orang lain untuk bekerja untuk mencapai tujuan tertentu.
Definisi lain dari kepemimpinan adalah: “leadership
as a social influence process in which the leader seeks the voluntary participation of subordinates in an
effort to reach organizational goals” (Kreitner
& Kinicki, 2004), kepemimpinan adalah proses pengaruh sosial dimana seorang pemimpin meminta partisipasi
secara sukarela dari bawahannya sebagai upaya untuk meraih tujuan organisasi.
Kepemimpinan adalah kemampuan
untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh
tersebut dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi (Robins,
2002). Definisi kepemimpinan seperti diungkapkan di atas, berimplikasi pada
tiga hal utama seperti dikemukakan di bawah ini (Locke, 1997):
a. Kepemimpinan menyangkut “orang lain”, bawahan
atau pengikut. Kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin. Jika
tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan semua
kualitas kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak relevan. Terkandung
makna bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan
inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikut mereka.
b.
Kepemimpinan merupakan suatu
”proses”. Agar bisa memimpin, seorang pemimpin harus melakukan sesuatu,
kepemimpinan lebih dari sekedar menduduko suatu posisi otoritas. Kendatipun
posisi otoritas yang dikonformalkan mungkin sangat mendorong proses
kepemimpinan, tetapi sekadar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat
seseorang menjadi pemimpin.
c.
kepemimpinan harus ”membujuk”
orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk para pengikutnya lewat
berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan
model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman,
restrukturisasi organisasi dan mengkomunikasikan sebuah visi.
Proses sekolah
dalam dimensi kepemimpinan
adalah menghasilkan
keputusan kelembagaan yang terjadi sebagai
keputusan partisipatif atau keputusan bersama antara kepala sekolah, guru,
siswa, orang tua siswa, para ahli, dan orang-orang yang bekepentingan terhadap
pendidikan (stakeholders). Keputusan tentang bagaimana keberlangsungan sekolah yang didasarkan
atas partisipasi diharapkan dapat menumbuhkan rasa memiliki bagi semua kelompok
yang berkepentingan di sekolah. Pelibatan kelompok yang berkepentingan di
sekolah dalam proses pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian,
yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan
(Aan dan Cepi, 2004). Seperti pendapat yang
dikemukakan oleh Stoner mengenai delapan macam tugas pemimpin, salah satunya
adalah the manager makes difficult decisions artinya seorang pemimpin sebagai pengambil keputusan selalu dihadapkan pada berbagai macam
pendapat tentang kebijaksanaan organisasi dan sebagainya (Wahjosumidjo, 1987).
Kondisi seperti ini menuntut adanya partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap sekolah untuk turut serta berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan tersebut.
Intisari dari pengambilan
keputusan yaitu perumusan beberapa alternative tindakan dalam menggarap situasi
yang dihadapi serta menetapkan pilihan yang tepat antara beberapa alternative
yang tersedia setelah diadakan evaluasi mengenai efektivitas alternative
tersebut untuk mencapai tujuan para pengambil keputusan (Eti dkk, 2005).
Pengambilan keputusan sendiri memiliki dua fungsi, yaitu: (1) pangkal permulaan
dari semua akts manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun
secara kelompok, baik secara institusional maupun secara organisasional; (2)
sesuatu yang bersifat futuristic, artinya bersangkut paut dengan hari depan,
masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
(Eti dkk, 2005).
Jika dilihat dari fungsi
pengambilan keputusan di atas, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kepala
sekolah sebagai pimpinan akan berpengaruh besar terhadap kelangsungan organisasi
sekolah. Oleh karena itu, hal ini akan memiliki dampak terhadap perilaku maupun
sikap bawahannya, seperti wakil kepala sekolah, guru, staf tata usaha, maupun
siswa. Oleh sebab itu, kepala sekolah sebagai pimpinan harus mampu memilih
alternatif-alternatif keputusan yang tepat sehingga tujuan organisasi sekolah
untuk meningkatkan kinerja pendidikannya dapat tercapai secara optimal.
Penyelenggaraan sekolah dari
dimensi kepemimpinan ini adalah terjadinya pemotivasian terhadap staf agar
mereka terus bersemangat bekerja dan menghasilkan karya yang berguna dan
bermutu. Diera global ini, dituntut keahlian yang harus terus dikembangkan
seiring dengan inovasi-inovasi yang ditemukan dalam bidang pendidikan. Oleh
karena itu kepala sekolah pun dituntut agar dapat melaksankaan tugasnya sebagai
agent of change yang selalu berupaya untuk terjadinya difusi inovasi pada staf (Aan dan
Cepi, 2004).
Teknik memotivasi tidak lain
adalah kemampuan seseorang atau pemimpin secara konseptual ataupun dengan
berbagai sumber daya dan sarana dalam menciptakan situasi yang memungkinkan
timbulnya motivasi pada setiap bawahan atau orang lain untuk berperilaku sesuai
dengan tujuan organisasi. Salah satu faktor penting yang ada pada diri seorang
pemimpin yang sangat berpengaruh di dalam memotivasi bawahan, ialah kewibawaan
pemimpin. Sehingga berhasil tidaknya di dalam memotivasi bawahan juga sangat
dipengaruhi bagaimana pemimpin di dalam menampilkan kewibawaannya terhadap
bawahan (Wahjosumidjo, 1987).
2. Peran
dan Tantangan Strategis Pemimpin di Sekolah
Sekolah merupakan tempat belajar
yang memberikan layanan pembelajaran yang bermutu melalui strategi pembelajaran
yang bervariasi, penilaian yang kontinyu dengan follow-up yang cepat dan tepat, mendorong partisipasi siswa dalam pembelajaran,
serta memperhatikan kehadiran siswa, pelaksanaan tugas-tugas siswa, dan
keberlanjutan tugas-tugasnya.
Pada sekolah efektif, strategi
belajar mengajar harus dipusatkan pada aktivitas siswa karena tanggung jawab
ada pada siswa. Sekolah bertanggung jawab mengakomodasi kegiatan siswa agar
siswa mau belajar. Hal ini berpatokan pada pengertian belajar sebagai kegiatan
aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Untuk itu guru perlu
memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun
ide dan menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi dan tanggung
jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.
Kinerja manajer (kepala sekolah)
dipengaruhi oleh faktor pembentuk perilaku dengan tingkat kompleksitas dan
komposisi tertentu. Pavlop Watson dan Skinner menegaskan adanya reciprocal determination antara
perilaku, potensi dalam diri, dan lingkungan. Lingkungan yang diberikan treatment desentralisasi menuntut adanya
orang-orang yang cekatan, gesit, dan memiliki prakarsa mengembangkan organisasi
berupa visi (Aan dan Cepi, 2004).
Sekolah efektif memerlukan sumber
daya yang kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab. Sikap mental ini tidak akan
berkembang pesat apabila dibatasi oleh hirarkhi birokrasi yang ketat. Oleh
karena itu, desentralisasi menjadi landasan bergerak dan tumbuhnya mental yang baik. Secara operasional, sekolah efektif memiliki keleluasaan untuk mengembangkan
program-program yang sudah dirancangnya bersama stakeholders untuk mewujudkan prestasi sekolah yang unggul. Para pemimpin tidak lagi
sungkan melontarkan ide cemerlangnya yang berbeda dan biasanya untuk membanggun
sekolah.
Terdapat beberapa tantangan yang
harus dihadapi oleh kepala sekolah sebagai pemimpin untuk meningkatkan kualitas
pendidikan disetiap jenjang mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi. Tantangan tersebut antara lain: 1) persaingan antar lembaga pendidikan
yang sudah ada (rivalry among existing institution), 2) ancaman dari lembaga pendidikan pendatang baru (threat of new entrant), 3)
ancaman dari lembaga pendidikan yang menawarkan jasa pendidikan pengganti (threat of substitute
education service), 4) kekuatan tawar-menawar
pemasok atau masyarakat yang membutuhkan jasa pendidikan (bargaining power of suppliers), 5)
kekuatan tawar-menawar pembeli (bargaining power of buyer).
3. Kompetensi
Pemimpin di Sekolah
Kompetensi menurut MC. Ashan
adalah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang
yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan
perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya
(Mulyasa, 2002 dalam BPPLSP, 2004). Menurut Art Anderson, kompetensi adalah
karaktes dasar yang terdiri dari kemampuan (skill), pengetahuan (knowledge) serta atribut personal lainnya
yang mampu membedakan seseorang yang perform dan tidak perform. Secara umum
kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, mencakup pengetahuan dan
keterampilan atau kecakapan dan sikap, menekankan perilaku yang terukur sebagai
aplikasi dari kompetensi yang dimiliki, menekankan pada outcomes.
Kompetensi sebagai suatu
kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan seseorang ketika melakukan sesuatu.
Memahami visi dan misi serta memiliki integritas yang baik saja belum cukup.
Agar berhasil, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk
dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik dan benar. Apa saja kompetensi
yang harus dimiliki kepala sekolah? Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala
sekolah perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut (diadaptasi dari CCSSO, 2002 dalam
Agus Dharma, 2003).
a. Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan,
dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung
oleh komunitas sekolah. Kepala sekolah memfasilitasi sekolah dalam
mengembangkan visi dan misi sekolah, keterlibatan semua pihak dalam penyusunan
visi dan misi ini diperlukan agar dapat dipertanggung jawabkan secara
bersama-sama.
b. Membantu, membina, dan mempertahankan
lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar
peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf. Kepala sekolah
harus dapat memastikan adanya lingkungan sekolah yang kondusif. Sekadar
mengingatkan, lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan orang-orang di
dalamnya untuk mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin.
Kepala sekolah misalnya harus berupaya keras agar masalah-masalah sosial,
seperti penyalahgunaan narkoba, tidak mengimbas ke dalam lingkungan sekolahnya.
Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan peserta didik termotivasi untuk
saling belajar, saling memotivasi, dan saling memberdayakan. Suasana seperti
memberi ruang untuk saling belajar melalui keteladanan, belajar bertanggung
jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi sepenuhnya.
c.
Menjamin bahwa manajemen
organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan
lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif. Kepala sekolah harus
dapat memastikan bahwa apapun prinsip-prinsip dan teknik manajemen organisasi
dan pengoperasian sumber daya sekolah yang diterapkan semata-mata digunakan
bagi kepentingan peserta didik. Ia harus dapat menjamin bahwa lingkungan fisik
sekolahnya aman dan sehat bagi peserta didik, guru, dan staf pendukung lainnya.
d.
Bekerja sama dengan orang tua murid
dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang
beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat. Kepala sekolah harus
menyadari bahwa tujuan sekolah tidak mungkin dicapai tanpa
melibatkan semua pihak yang berkepentingan, utamanya para orang tua murid.
Manajemen sekolah adalah upaya bersama agar hal-hal yang tadinya terasa besar
dan berat menjadi lebih terkendali. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Oleh sebab itu, kepala sekolah harus tidak boleh putus harapan untuk menghimbau
dan merangkul semua pihak yang berkepentingan demi kemajuan sekolahnya.
e.
Memberi contoh (teladan) tindakan
berintegritas. Kepala sekolah pastilah berada dalam posisi yang serba kikuk
jika tidak menujukkan kualitas perilaku yang dapat diteladani. Dapat dipercaya,
konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali adalah
kualitas yang seharusnya dimiliki para pimpinan. Karakter moral seperti itulah
sebenarnya yang memiliki dampak jangka panjang. Kepala sekolah yang hanya mengandalkan
kewenangan jabatannya untuk mempengaruhi lingkungan, hanya akan menimba hasil
jangka pendek.
f. Memahami, menanggapi, dan
mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.
Kepala sekolah perlu menyadari bahwa kehidupan di sekolahnya adalah bagian dari
lingkungan kehidupan yang lebih luas. Kehidupan lain di luar sekolahnya ikut
berpengaruh dalam upayanya mengelola sekolah dengan baik. Berpikir sistem
membantunya untuk memahami posisi sekolahnya dalam gambaran yang lebih besar.
Sekolahnya sendiri adalah bagian dari subsistem sosial yang terkait dengan
sistem politik, ekonomi, dan lain-lainnya.
4.
Fungsi Kepala Sekolah dalam Pengembangan Sumber
Daya Manusia
Kepemimpinan
kepala sekolah yang efektif di tingat sekolah merupakan
faktor penting dalam upaya untuk pengembangan
sumber daya manusia. Pengaruh tersebut dapat diberikan dengan cara (Leithwood
& Riehl, 2003): Pertama, Offering intellectual stimulation; artinya dalam upaya pengembangan sumber daya manusia, kepala sekolah akan mendorong bawahannya untuk
melakukan refleksi atas bidang kerjanya selama ini dan menguji asumsi tentang
pekerjaannya, disamping itu kepala sekolah juga berfungsi sebagai penilai dan perencana untuk meningkatkan kinerja guru dan
karyawan dimasa yang akan datang. Komunikasi antara kepala sekolah dengan
bawahannya sangat penting, terutama yang berkaitan dengan kinerjanya selama
ini, sehingga bawahan dapat mengetahui keunggulan dan kelemahan yang
dimilikinya. Dengan komunikasi ini diharapkan kinerja akan meningkat, kelemahan
dapat dijadikan sebagai pijakan bagi pemimpin untuk menentukan kebijakan dalam
program pengembangan melalui pelatihan ataupun pendidikan bergelar.
Kedua, providing
individualized support; kepala sekolah sebagai pemimpin harus melibatkan diri
dalam upaya perbaikan kinerja bawahan, kepedulian dan perhatian akan kebutuhan
karyawan maupun persaaanya akan sangat membantu proses perbaikan tersebut.
Hasil dari keterlibatan tersebut dapat ditunjukkan dengan penyediaan intensif,
promosi kenaikan pangkat atau jabatan, maupun kesempatan mengikuti pendidikan
bagi guru atau karyawan yang berprestasi dan pengawasan yang tepat dan terarah
demi terciptanya perbaikan maupun peningkatan kinerja.
Ketiga, providing an
appropriate model; kepala sekolah adalah merupakan figure sentral yang
akan dicontoh oleh bawahan, sebagai figure, seorang kepala sekolah harus
memiliki kepribadian, sikap dan perilaku yang dapat dijadikan teladan bagi
bawahan.
5. Fungsi
Kepala Sekolah dalam Pengembangan Organisasi
Kepemimpinan dalam organisasi
pendidikan menaruh perhatian pada aspek institusi sebagai mana organisasi dan
masyarakat, dengan menaruh perhatian pada proses internal dan hubungan
eksternal. Kepala sekolah yang efektif akan mendorong terciptanya institusi
pendidikan untuk berfungsi sebagai masyarakat pembelajar professional untuk
mendukung dan menopang kinerja seluruh karyawan, termasuk di dalamnya guru dan
juga siswa. Dalam mengembangkan organisasi, seorang kepala sekolah dapat
berfungsi sebagai (Leithwood & Riehl, 2003): Pertama,
strengthening school culture; kepala
sekolah sebagai pemimpin efektif berfungsi untuk mengembangkan budaya sekolah
(institusi pendidikan) yang mewujudkan norma, nilai, kepercayaan, dan sikap
bersama yang menggambarkan kepedulian bersama dan kepercayaan diantara pada anggota. Sebagai suatu organisasi,
sekolah menunjukkan kekhasan sesuai dengan core bisnis yang dijalankan, yaitu
pembelajaran. Budaya sekolah semestinya menunjukkan kapabilitas yang sesuai
dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Kedua, modifying
organizational structure; pemimpin dalam institusi pendidikan melakukan pengawasan
dan penyesuaian mengenai struktur organisasi dalam institusinya, termasuk
bagaimana tugas dilaksanakan, penggunaan waktu untuk menyelesaikannya,
pengalokasian perlengkapan, penawaran dan sumber-sumber lainnya, dan segala
prosedur operasional rutin yang ada di dalam institusi. Pemimpin efektif dalam
institusi pendidikan membuat perubahan struktural langsung yang dapat
menghasilkan kondisi positif bagi proses belajar dan membelajarkan.
Ketiga, building
collaborative processes; kepala sekolah sebagai pemimpin dalam institusi
pendidikan akan berusaha meningkatkan kinerja dari institusi yang dipimpinnya
dengan menyediakan kesempatan kepada seluruh staf untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan berkaitan dengan isu yang mempengaruhi mereka dimana
kapasitas mereka sangat penting. Dengan cara ini, pemimpin membantu membentuk
institusi pendidikan dengan cara menyempurnakan tujuan yang dirumuskan secara
bersama.
Keempat, managing the
environment; kepala sekolah efektif akan
bekerja dengan
perwakilan orang-orang yang berasal dari lingkungan disekitarnya, termasuk
orang tua, anggota masyarakat, pemerintah, industri dan lainnya. Kemampuan
untuk berkolaborasi dengan masyarakat sekitar atau stakeholder pada umumnya
merupakan kekuatan tersendiri dari sekolah untuk menghimpun kekuatan dalam
rangka peningkatan kekuatan kelembagaan.
Sumber Referensi :
0 comments:
Post a Comment